Senin 09 Sep 2019 16:15 WIB

Tiga Industri Prioritas Hadapi Kemungkinan Resesi Global

Tiga industri itu adalah karet, furnitur dan elektronik.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Industri manufaktur
Foto: Prayogi/Republika
Industri manufaktur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan, ada tiga industri yang perlu diperkuat dalam jangka pendek. Tujuannya, untuk menghadapi tantangan resesi yang sudah disampaikan World Bank (Bank Dunia) kepada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Tiga industri itu adalah karet, furnitur dan elektronik. Andry mengatakan, tiga industri tersebut memenuhi dua kunci utama.

Baca Juga

Pertama, industri itu meliputi produk China di Amerika Serikat (AS) yang terkena tarif. "Kedua, mencakup produk Indonesia yang masih diberikan pembebasan tarif GSP (Generalized System of Preferences)," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika, Senin (9/9).

Di Amerika Serikat, Andry mencatat, Indonesia merupakan pemain keenam terbesar dalam industri karet. Indonesia menguasai pasar produk karet setara dengan 1,9 miliar dolar AS.

China sudah dikenakan tarif section 301 atas produk karetnya, sedangkan sebanyak 42 persen produk karet Indonesia dikenakan pembebasan tarif GSP.

Andry mengatakan, produk utama yang dapat dikejar Indonesia adalah ban truk dan bis serta ban radial atau ban yang dipergunakan untuk kendaraan balap. Produk lain seperti sarung tangan medis dan karet juga bisa dijadikan unggulan.

Tapi, ada dua tantangan besar bagi Indonesia dalam mengembangkan industri karet. Pertama, daya saing yang masih rendah dibanding dengan Thailand sebagai kompetitor utama di komoditas ini. Thailand menguasai 11,8 persen pasar produk karet di AS.

"Sebagai sesama negara International Tripartite Rubber Council (ITRC) yang mampu  menghasilkan karet alam dan juga buatan, Indonesia harus kejar ketertinggalannya untuk ekspor di produk ini," tutur Andry.

Tantangan kedua, investasi. Realisasi Foreign Direct Investment (FDI) di industri karet masih belum membaik.

Tercatat, pada kuartal kedua 2019, nilainya hanya 95 juta dolar AS atau turun dari kuartal sebelumnya, 106,2 juta dolar AS. Bahkan, lebih jauh apabila dibanding dengan masa kejayaan pada kuartal pertama 2017 yang dapat menembus 295,1 juta dolar AS.

Industri berikutnya yang dapat jadi andalan adalah furnitur. Meski tidak sebesar produk karet, Andry mengatakan, Indonesia masih menjadi bagian dari 10 besar eksportir di AS. Nilai ekspornya mencapai 900 juta dolar AS pada tahun lalu.

Saat ini, sebanyak 73 persen dari total nilai produk furnitur dari China sudah dikenakan 25 persen tarif impor oleh AS. "Sehingga ini sebetulnya menjadi peluang bagi Indonesia," kata Andry.

Permasalahannya, kinerja industri furnur masih belum cukup baik. Sejumlah pabrik furnitur tutup, terutama yang berada di daerah sentra furnitur seperti di Jawa Timur. Beberapa bahkan merelokasi basis produksinya ke Vietnam dan Malaysia.

Industri ketiga, elektronik. Andry mengatakan, produk elektronik dari China merupakan produk yang paling terkena dampak dari perang dagang ini. Sebab, perang dagang kini mulai melebar menjadi perang teknologi ketika melibatkan industri elektronik di dalamnya.

Hanya saja, produk elektronik yang dikuasai di Amerika Serikat sangat kecil, yakni 1,3 miliar dolar AS atau setara 0,4 persen dari total pasar di dunia. Tapi, potensi ini tetap harus dimanfaatkan.

"Bagi Indonesia, Amerika Serikat merupakan negara importir produk elektronik dari Indonesia ketiga terbesar setelah Singapura dan Jepang," ucap Andry.

Tantangan yang cukup berat ketika berbicara industri elektronik adalah meningkatkan daya saing di pasar global. Khususnya, setelah Vietnam menjadi pusat produksi elektronik limpahan dari China.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement