Rabu 11 Sep 2019 12:43 WIB

Perang Dagang Buat Investor Asia Lebih Berhati-hati

Para investor Asia mengatakan saat ini lebih memperhatikan portofolio mereka.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Para investor Asia semakin berhati-hati terhadap portofolio mereka. Penyebabnya, kekhawatiran terhadap tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang semakin meningkat dan ketidakpastian prospek ekonomi global.

Kondisi ini disampaikan dalam survei baru RBC Wealth Management, seperti dilansir di South China Morning Post, Rabu (11/9). Di antara investor yang disurvei di China, Hong Kong, Singapura dan Taiwan, 80 persen dari mereka mengatakan bahwa lebih memperhatikan portofolio mereka dibandingkan beberapa waktu lalu. Atensi ini sebagai hasil dari siklus ekonomi global saat ini.

Baca Juga

Lebih dari setengah investor Asia yang disurvei menyebutkan, ketidakpastian ekonomi global menjadi kekhawatiran terbesar mereka saat mengelola kekayaan. Jumlah tersebut lebih banyak dibanding dengan 41 persen investor yang merespon dengan alasan sama di Kanada, Inggris dan AS.

Sementara itu, sekitar sepertiga dari investor Asia menyebutkan, perdagangan lintas batas dan masalah tarif sebagai permasalahan utama.

CEO RBC Wealth Management Asia, Terence Chow, menjelaskan, perlambatan ekonomi global menjadi tantangan besar bagi investor di seluruh dunia untuk mendapatkan imbal hasil positif. "Mengingat ekonomi Asia lebih terekspos terhadap perdagangan global dibandingkan AS, konsekuensinya adalah (investor bernilai tinggi) Asia menjadi pihak paling peduli terhadap ketidakpastian ekonomi global," tuturnya.

Survei ini dilakukan The Economist Intelligence Unit atas nama RBC Wealth Manaegement, sebuah unit dari Royal Bank of Canada. Mereka mewawancarai sekitar 2.094 orang selama Mei hingga Juni.

Laporan ini muncul ketika AS dan China telah terlibat perang dagang selama lebih dari satu tahun. Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif terhadap 380 miliar dolar AS barang-barang China dan bersiap menambah pungutan tambahan pada 160 miliar dolar produk China lain di akhir tahun. China meresponnya dengan mengurangi pembelian produk pertanian Amerika, termasuk kedelai.

Trump berusaha memaksa Beijing mengubah kebijakan perdagangan dan industri selama beberapa dekade. Kedua belah pihak diperkirakan akan kembali diskusi pada bulan depan. Tapi, banyak analis tidak optimistis kesepakatan akan segera tercapai. Para ekonom juga semakin cemas dampak perang dagang terhadap sentimen bisnis dan kepercayaan investor.

Pada Selasa (10/9), Fitch Ratings memangkas perkiraan pertumbuhannya untuk China, Eropa dan AS. Tensi yang semakin meningkat dari perang dagang dan risiko signifikan dari Inggris yang meninggalkan Uni Eropa akan ‘menggelapkan’ prospek ekonomi global.

Selain itu, kepala ekonom CLSA Eric Fishwick memprediksi, AS akan menghadapi resesi dangkal dan perdagangan global akan berubah negatif pada tahun depan.

Di saat prospek ekonomi global semakin tidak pasti, sekitar 40 persen orang kaya Asia yang disurvei RBC mengatakan, mereka akan menghindari risiko. "Sentimen di antara investor banyak yang rapuh. Mereka bertanya, ‘bagaimana saya melindungi diri saya sendiri’," ucap Chow.

Chow menilai, pertanyaan tersebut wajar. Sebab, risiko tidak hanya akan dirasakan bagi aset portofolio mereka, juga bagi perusahaan dan usaha pribadi mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement