REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebut bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu alasannya, jumlah anggota DPR yang menghadiri paripurna pengesahan itu tak memenuhi kuota forum (kuorum).
Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, pimpinan DPR dalam memimpin Rapat Paripurna wajib memperhatikan kuorum rapat. Rapat paripurna dinyatakan kuorum apabila dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi.
Dalam rapat paripurna kemarin, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang merujuk pada data absensi rapat menyatakan, kehadiran anggota dewan adalah 289 anggota dari total 560 anggota. Jumlah tersebut secara angka memang memenuhi kuorum. Namun, ketika dihitung secara manual, jumlah yang hadir hingga rapat dimulai beberapa saat, sekira pukul 12.18 hanya 102 anggota yang hadir.
Dengan tidak terpenuhinya kuorum, keabsahan pengesahan perubahan UU KPK pun diragukan. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa mempersilakan masyarakat untuk bisa mengajukan peninjauan kembali (judicial review) di MK. "Ya gugat saja ke judicial review bahwa ini ilegal. Gitu saja. Gerindra mendukung," kata Desmond usai rapat.
Istana Kepresidenan juga tak mempermasalahkan keinginan sejumlah pihak mengajukan uji materi atas pengesahan revisi UU KPK ke MK. Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebutkan, pengajuan uji materi merupakan hak publik dan pemerintah tidak ada wewenang membatasinya.
"Tapi yang paling penting, proses politik harus dilihat secara jernih supaya masyarakat tidak salah dalam melihat. Kalau nanti salah melihat, dari kacamata yang berbeda maka yang disalahkan hanya presiden, hanya pemerintah, ini nggak fair,\" kata Moeldoko di kantornya, Selasa (17/9).
DPR memang bekerja kilat dalam merevisi UU KPK ini. Baru dua kali melakukan pembahasan di panitia kerja dan rapat kerja, DPR resmi mengetok palu mengesahkan RUU KPK menjadi UU pada rapat paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020, Selasa (17/9).
"Ya saya pikir ini udah final ya, apa yang dihasilkan oleh DPR dalam sebuah proses panjang untuk melakukan revisi UU KPK. Jadi walau apa itu, kritik dan masukan, dan seterusnya pada akhirnya revisi sekarang ini sudah selesai," kata Moeldoko.
Pengamat hukum tata negara Hifdzil Alim menilai, perubahan pasal di UU KPK berpotensi besar dibatalkan di MK. Salah satunya, menurut dia, adalah poin perubahan pasal di UU KPK yang menyebut KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun eksekutif. "Setahu saya itu bertentangan dengan putusan MK bahwa rumpun kekuasaan KPK yudikatif meskipun mungkin ada pertentangan," ujar Hifdzil yang juga direktur HICON Law & Policy Strategic, kemarin.
Hifdzil mengatakan, perubahan pasal UU KPK yang menyatakan pegawai KPK akan berstatus pegawai sipil negara (PNS) juga berpotensi bisa dibatalkan MK. Dalam putusan sebelumnya, MK menyebut KPK sebagai lembaga independen dan bebas dari intervensi dan pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Sedangkan pengajar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Mohammad Novrizal Bahar mengatakan, uji materiil dan uji formil sama-sama bisa dilakukan terhadap revisi UU KPK. Namun, keduanya membutuhkan serangkaian mekanisme terlebih dulu.
"Hanya saja, selama ini kalau uji formil itu kan belum pernah diterima ya. Kalau uji materi itu tetap bisa kita ajukan terlebih selama ini memang kita tidak setuju dengan isi revisi UU tersebut," ujar Novrizal di Depok, kemarin.
Terkait uji materi, menurut dia, harus ada pihak yang memiliki kedudukan legal sebagai pemohon uji materi. Sedangkan uji formil bisa dilakukan jika dalam proses pembuatan revisi UU KPK ada sejumlah proses yang dilanggar. "Atau kalau tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan," kata dia.
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani menyebut, revisi UU KPK belakangan merupakan praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Dia menyatakan, selain cacat formil, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan stakeholders alias pemangku kebijakan yang justru akan menjalankan UU KPK.
"Padahal KPK adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan UU hasil revisi ini," kata Ismail dalam keterangannya, Selasa (17/9).