REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perbedaan nomenklatur Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menimbulkan pertanyaan dan keraguan dari Pemerintah Daerah (Pemda). Menurut anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, ada sedikit pengaruh perbedaan nomenklatur terhadap penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
"Ada pengaruh tapi tidak terlalu besar. Adanya pertanyaan dan keraguan dari pemda," ujar Bagja kepada Republika, Kamis (26/9).
Perbedaan nomenklatur yang dimaksud bahwa pada pasal 23 ayat 1 UU Pilkada, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS. Sementara dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebut Bawaslu Kabupaten/Kota.
Namun, Bawaslu tetap meyakinkan pemda agar tak mempermasalahkan penyebutan lembaganya di tingkat kabupaten/kota tersebut. Sebab, kata Bagja, ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2019.
"Ada Peraturan Mendagri yang menyebutkan nomenklatur Bawaslu kabupaten/kota," kata dia.
Sehingga, ia optimistis penandatanganan NPHD untuk memenuhi anggaran pelaksanaan Pilkada di 270 daerah terlaksan dengan baik. Baik Bawaslu maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) meyakini NPHD dapat rampung pada 1 Oktober 2019 mendatang.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyarankan agar ada dorongan untuk merevisi UU Pilkada tersebut. Menurutnya, Permendagri tak cukup menghindari permasalahan karena nomenklatur tersebut berasal dari Undang-undang.
"Mestinya ya disesuaikanlah, masa di UU Pemilu sudah menjadi Bawaslu di UU Pilkada masih Panwaslu ini kan aneh, mesti direvisi," kata Syamsuddin Haris.