REPUBLIKA.CO.ID, LA PAZ -- Presiden Bolivia Evo Morales mengundurkan diri pada Ahad (10/11) waktu setempat. Keputusan itu mundur setelah militer memintanya untuk mundur dan para sekutu meninggalkannya setelah protes yang berjalan panjang.
"Saya mengundurkan diri, mengirim surat pengunduran diri saya ke Majelis Legislatif," kata Morales.
Pengunduran diri, menurut Morales, merupakan langkah dalam upaya mencari perdamaian. Sebagai presiden adat dan presiden bagi seluruh warga Bolivia, sudah menjadi kewajibannya menemukan jalan damai untuk negaranya. Morales merupakan presiden pertama yang berasa dari suku adat terbesar di Bolivia.
Laporan AP menyatakan, sebelum Morales menyelesaikan pernyataannya, orang-orang mulai membunyikan klakson mobil di La Paz maupun kota-kota lain dan turun ke jalan untuk merayakannya. Mereka mengibarkan bendera Bolivia dan menyalakan kembang api. "Ini bukan Kuba, atau Venezuela. Ini Bolivia, dan Bolivia dihormati," teriak massa di Ibu Kota.
Kerumunan besar terbentuk di alun-alun utama di Ibu Kota. Banyak orang bersukacita. Bahkan, beberapa orang menangis bahagia. Para pengunjuk rasa berbaring di depan istana presiden dan membakar sebuah peti mati untuk melambangkan kematian pemerintahan Morales. "Kami merayakan Bolivia bebas," kata seorang demonstran di dekat istana presiden.
Tekanan pengunduran diri terhadap Morales terus meningkat sejak dia dinyatakan memenangkan kembali pemilihan presiden (pilpres) pada 20 Oktober. Kepala angkatan bersenjata Bolivia Jenderal Williams Kaliman mengatakan, militer telah diminta untuk mundur dalam membantu memulihkan stabilitas setelah berpekan-pekan terjadi protes.
"Kami menyarankan Presiden Negara untuk membatalkan mandat presidennya, memungkinkan perdamaian dipulihkan, dan stabilitas dipertahankan untuk kebaikan Bolivia," kata komandan angkatan bersenjata Bolivia itu, sesaat sebelum Morales mengumumkan pengunduran dirinya.
Jenderal Kaliman pun meminta agar warga Bolivia dan organisasi yang melakukan protes menghentikan tindakan kekerasan. Cara tersebut hanya akan melukai, menyakiti, dan menyulut luka bagi sesama warga negara tersebut.
Morales sepakat mengadakan pilpres baru setelah sebuah laporan dari Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) melakukan audit suara dari pemilihan 20 Oktober. OAS mengungkapkan ada penyimpangan serius dalam pemilihan.
Laporan OAS mengatakan, pemungutan suara Oktober lalu harus dibatalkan setelah menemukan manipulasi yang jelas dari sistem pemungutan suara. Kondisi itu membuat kemenangan Morales dipertanyakan dengan hasil keunggulan lebih dari 10 poin atas rival utamanya, Carlos Mesa.
"Manipulasi terhadap sistem komputer sangat besar sehingga harus diselidiki secara mendalam oleh Negara Bolivia untuk sampai ke dasar dan menugaskan tanggung jawab dalam kasus serius ini," kata laporan awal OAS.
Ketika laporan audit keluar dari Bolivia, dukungan terhadap Morales buyar pada saat itu juga. Beberapa sekutunya mengundurkan diri, termasuk Menteri Pertambangan Cesar Navarro dan Wakil Presiden Dewan Victor Borda, yang menjadi anggota partai Morales. Mereka sama-sama menyebutkan rasa takut akan keselamatan keluarga sebagai alasan untuk mundur.
Presiden Bolivia Evo Morales mengundurkan diri setelah kisruh politik dan demonstrasi. Morales berbicara di hanggar kepresidenan di El Alto, Bolivia, Ahad (10/11).
Pemimpin Pusat Pekerja Bolivia Juan Carlos Huarachi, serikat pro pemerintah yang kuat, mengatakan, Morales harus mundur jika itu akan membantu mengakhiri kekerasan baru-baru ini. Dalam beberapa hari terakhir, pasukan polisi juga terlihat bergabung dengan protes antipemerintah, sementara militer menyatakan tidak akan menghadapi rakyat karena masalah ini. Kantor jaksa agung juga mengumumkan telah memerintahkan penyelidikan atas kasus itu.
Selain pengunduran diri Morales, Wakil Presiden Alvaro Garcia Linera juga melepas jabatannya. Pengunduran diri Morales dan Gracia berarti akan membuat Bolivia mengalami vakum kekuasaan. Namun, menurut hukum Bolivia, dengan tidak adanya presiden dan wakil presiden, kepala senat akan mengambil alih sementara.
Sosok yang berkuasa pada tahun 2006 sebagai pemimpin pribumi pertama Bolivia itu telah mempertahankan kemenangan dalam pemilihannya. Meski begitu, sejak awal tuduhan kecurangan, dia menyatakan akan mematuhi temuan-temuan audit OAS.
Amerika Serikat (AS) melalui Departemen Luar Negeri menyatakan, rakyat Bolivia berhak atas pemilihan yang bebas dan adil sesuai dengan konteks konstitusi negaranya. Untuk itu, AS menyerukan agar seluruh masyarakat Bolivia menahan diri dari kekerasan selama waktu yang masih tegang terjadi.
"Dan kami akan terus bekerja dengan mitra internasional kami untuk memastikan bahwa demokrasi dan tatanan konstitusional Bolivia bertahan," ujar penyataan Departemen Luar Negeri AS yang dikutip CNN.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pun memuji audit OAS. Dia mengatakan, AS mendukung pemilihan baru dan pemasangan dewan pemilihan baru.
"Untuk mengembalikan kredibilitas ke proses pemilihan, semua pejabat pemerintah dan pejabat organisasi politik yang terlibat dalam pemilu 20 Oktober yang cacat harus menyingkir dari proses pemilihan," kata Pompeo.
Pengunduran diri Morales kemungkinan akan mengirimkan gelombang kejutan di seluruh wilayah pada saat para pemimpin berhaluan kiri telah kembali berkuasa di Meksiko dan Argentina. "Warisannya akan tercemar dan wilayah itu akan menderita dampak lain dengan konsekuensi jauh di luar Bolivia," kata direktur pelaksana penasihat risiko Cefeidas Group, Juan Cruz Diaz, merujuk pada Argentina, Cile, Peru, Paraguay, dan Brasil. n wwina agustin/reuters/ap ed: yeyen rostiyani