Kamis 14 Nov 2019 21:24 WIB

Bom Medan, Eks Kabais: Periksa Lagi Peredaran Bahan Peledak

Pengawasan peredaran bahan peledak untuk menekan tindak terorisme menggunakan bom.

Personel penjinak bom dari Gegana Brimob Polda Sumatera Utara memeriksa sebuah sepeda motor yang diduga milik pelaku bom bunuh diri yang terparkir di depan Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Personel penjinak bom dari Gegana Brimob Polda Sumatera Utara memeriksa sebuah sepeda motor yang diduga milik pelaku bom bunuh diri yang terparkir di depan Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto mengatakan perlu memeriksa kembali sistem kontrol peredaran bahan peledak. Pemeriksaan menyusun bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan.

"Seharusnya ada kontrol, kan ada undang-undang bahan peledak, tapi apakah pelaksanaannya itu berjalan atau tidak, saya tidak tahu," kata Soleman B Ponto, saat kegiatan diskusi "Forum Jurnalis Merah Putih", di Jakarta, Kamis (14/11).

Baca Juga

Menurut dia, pengawasan peredaran bahan peledak berperan penting untuk menekan kejadian tindak terorisme menggunakan bom. "Tindakan terorisme (menggunakan bom) berbahaya kalau ada peredaran, kalau tidak, tidak ada masalah, misalkan tidak ada peredaran bom, paling mereka hanya teriak-teriak saja," kata dia.

Saat ini, menurut dia, bahan peledak kelihatan bebas beredar, buktinya masyarakat sipil bahkan bisa memiliki bahan peledak hanya untuk kerja memecahkan batu. "Apapun namanya, mulai dari TNT, petasan, segala macam harus terkontrol, ini yang menurut saya tidak terkontrol bertahun-tahun. Di Medan sudah berapa kali, mulai dari gereja dan ini (Mapolrestabes)," ucapnya.

Menurut dia, semua pihak jangan terlalu terjebak dengan diksi radikalisme dan deradikalisasi, yang paling penting adalah cara-cara menahan laju para pelaku teror atau radikal beraksi. Soleman tidak setuju dengan diksi deradikalisasi karena kata tersebut memberi arti ada pihak yang mengaku benar dan ada yang dicap radikal.

Sementara setiap orang dalam alam sadarnya pasti tidak terima dicap radikal, dia lebih suka memakai diksi "perbedaan cara pandang" daripada radikal. "Ini soal diksi saja, apa pun cara yang dilakukan dibaliknya tidak masalah. Nah cara menahan tindakan itu banyak, bisa memperbaiki cara pandang yang radikal itu, juga mengontrol peredaran bahan peledak dan senjata," ujarnya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement