REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Keamanan Laut (Bakamla) menegaskan kehadiran mereka di perairan Natuna, Kepulauan Riau, untuk mendukung langkah diplomasi yang dilakukan terkait pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kapal-kapal China melakukan pelanggaran di perairan tersebut.
"Kita berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS), mereka berdasarkan sejarah. Jadi, nggak akan ketemu," kata Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Achmad Taufiqoerrochman usai mengikuti Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) tentang Tugas Pokok Fungsi dan Kewenangan Penanganan Pengamanan Laut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (7/1).
Kendati demikian, Taufiq mengatakan persoalan klaim China itu harus diselesaikan lewat jalur diplomasi meski secara tegas tidak ada negosiasi ataupun tawar menawar. "Jadi, kalau itu nggak selesai maka sampai kapanpun akan seperti ini. Makanya kemarin saya sampaikan bahwa harus ada orkestra tim antara operasi dan diplomasi," katanya.
Taufiq menegaskan Indonesia dan China tidak dalam keadaan konflik dan tidak ada ekskalasi untuk berperang sehingga Bakamla sebagai institusi operasional melakukan tindakan terukur. "Nah, terukur ini jangan terjadi miskalkulasi, yang akan menjadi eskalasi tak ada kendali, yang justru akan mengganggu hubungan baik kedua negara," katanya.
Ia menjelaskan kapal China di perairan Natuna itu tidak masuk teritorial kedaulatan Indonesia, tetapi memasuki kawasan ZEE Indonesia. "Belum, belum teritori. Masih jauh. Makanya, di sana bukan masalah kedaulatan tetapi hak berdaulat. Lebih banyak penegakan hukumnya di sana, makanya Bakamla di depan," katanya.
Karena itu, Taufiq selalu melapor situasi terkini di perairan Natuna setiap pagi kepada Menteri Luar Negeri untuk dianalisis lebih lanjut sebagai bahan untuk berdiplomasi. "Makanya, saya tadi sampaikan ada orkestratif, begitu seperti itu, saya tambah lagi kekuatan. Karena diplomasi tanpa kekuatan juga tak bagus, kekuatan tanpa diplomasi juga tak jelas. Bagaimana kita me-manage itu," katanya.