REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden ke-6 Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pandangannya terkait ketengangan antara Iran dan Amerika Serikat. Ketegangan antara Iran dan AS dipicu terbunuhnya Jenderal Iran Qassem Soleimani, yang disinyalir dapat memantik perang akbar.
Dalam akun resmi Facebook miliknya, SBY menyampaikan pandangan terkait situasi di dunia hingga mengerucut kepada kekhawatiran perang dunia yang menjadi kecemasannya. "Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia," tulis SBY.
Kendati demikian, SBY mengatakan, dirinya memiliki hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Menurutnya pemimpin dunia itu janganlah bersikap do nothing. "Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do something"," ujar SBY dalam catatanya.
SBY mengaku mengikuti perkembangan berita pascatewasnya Soleimani. SBY mengikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang memiliki kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan AS. Observasinya bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya.
"Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan," tulis SBY.
Oleh karenanya, SBY meyakini tidak ada yang berani memastikan perang bakal terjadi. Atau sebaliknya. Sehingga dalam kaitan ini, SBY menyampaikan pendapat dan harapannya.
"Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk to say something," katanya.
SBY pun menganalisi sebab-musabab terjadinya perang. Menurutnya penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara itu berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga bermacam-macam menurutnya. Ia menganalisi beberapa potensi yang bisa menyulutkan perang dunia baik di Perang Dunia 1 dan 2 kala lampau.
Perang Dunia ke-1, SBY bercerita, menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941.
Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang AS itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur.
Kesalahan itu sebuah "strategic miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang. Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan.
"Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal AS dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka," kata SBY.
SBY menilai perkembangan yang akan terjadi pada pekan-pekan mendatang bisa menjadi game changer. Yang berarti, langkah pemimpin AS maupun Iran bisa mengubah jalan sejarah di masa depan. "Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan," tulis SBY.