REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim hukum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (16/1). Namun, rombongan tim hukum PDIP enggan menjelaskan maksud kedatangan ke KPU.
"Mau ngobrol-ngobrol saja sebentar berdiskusi," ujar salah satu tim hukum PDI-P Wayan Sudirta.
Ketika ditanya terkait kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) yang melibatkan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dan politikus PDI-P Harun Masiku, Wayan justru enggan disebut istilah PAW. "Jangan pakai PAW-PAW-an," kata dia.
Berdasarkan agenda yang beredar, tim hukum DPP PDI-P akan melakukan audiensi dengan KPU. Tak disebutkan dengan jelas permasalahan yang akan dibahas. Berdasarkan pantauan Republika.co.id, tim hukum DPP PDI Perjuangan Wayan Sudirta dan Teguh Samudera bersama yang lainnya tiba di KPU sekitar pukul 11.20 WIB.
Mereka kemudian memasuki kantor sementara Ketua dan Komisioner KPU RI di Mess Bank Indonesia, tepat di samping kantor KPU yang masih dalam proses renovasi. Pertemuan tersebut tertutup bagi awak media. Saat ini, para wartawan masih menunggu di depan gerbang Mess Bank Indonesia tersebut.
Diketahui, DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membentuk tim hukum terkait kasus dugaan suap yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDIP Harun Masiku. Pembentukan tim hukum tersebut diumumkan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hingga Ketua DPP PDIP Yasonna Laoly pada Rabu (16/1)
Yasonna kemudian mengumumkan nama-nama tim hukum PDIP. Tim tersebut terdiri dari beberapa pengacara diantaranya I Wayan Sudirta, Yanuar Prawira Wasesa, Teguh Samudera, Nurul Wibawa, Krisna Murti, Paskaria Tombi, Heri Perdana, Benny Hutabarat, Kores Tambunan, Johannes L Tobing, hingga Roy Jansen Siagian.
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengaku berencana melaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Dewan Pengawas (Dewas). Laporan dibuat terkait operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Ya, sedang dipikirkan, karena kami berdasar pada ketentuan UU sehingga apa yang kami lakukan juga harus berdasarkan UU," kata Juru Bicara Tim Hukum PDIP Teguh Samudra di Jakarta, Rabu (15/1).
Teguh mengatakan, laporan dibuat setelah melihat adanya potensi pelanggaran oleh KPK berkenaan dengan penangkapan tersebut. Dia melanjutkan, hal itu juga terjadi pada rencana penggeledahan yang akan dilakukan di kantor DPP PDIP.
Teguh mengungkapkan, PDIP mengacu pada aturan UU nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dia mengatakan, berdasarkan UU tersebut, setiap proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari dewas.
"Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada," kata teguh lagi.
Dia lantas juga menyinggung penggunaan Surat Perintah Penyelidikan (Prin lidik) lama yang digunakan KPK dalam operasi tersebut. Menurutnya, hal itu juga bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 dalam Pasal 70B dan Pasal 70C.