REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Hukum Internasional Prof Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia tidak melanggar hak kemanusiaan dan hak kewarganegaraan ketika menolak untuk memulangkan WNI mantan anggota Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) di Suriah.
Menurut dia, hal ini dikarenakan mereka sudah bukan WNI lagi. Hikmahanto juga mempertanyakan dasar kemanusiaan yang dipakai ketika mereka mereka yang tergabung dalam ISIS itu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa.
"Kalau saya perhatikan bahwa alasan kemanusiaan itu akan berakhir ketika keselamatan dari bangsa dan negara itu sudah mulai muncul. Kita harus tahu bahwa kalau misalnya mereka kembali dan kita tidak bisa menanggulangi penyebaran paham ideologi dari ISIS ini, nanti ujungnya akan mengganggu keselamatan dari bangsa ini sendiri," kata Hikmahanto, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (12/2).
Menurut dia, landasan negara untuk menyikapi kebijakan untuk memulangkan atau tidaknya tentu didasarkan terhadap mereka mereka yang bergabung pada ISIS ini merupakan WNI atau bukan. Karena kalau bukan WNI lagi, kata Hikmahanto, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memulangkan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 sudah disebutkan bahwa, seseorang itu bisa secara otomatis kehilangan kewarganegaraan apabila memenuhi beberapa kualifikasi.
"Ada dua kualifikasi yang utama. Pertama, dalam pasal 23 huruf d adalah kalau mereka ikut di dalam dinas tentara asing. Di situ bukan disebut negara. Jadi ikut tentara asing. Yang dimaksud tentara asing ini bisa pemberontak mungkin dan lain sebagainya,” ujar peraih Doktoral dari Universitas Nottingham, Inggris ini.
Kedua, sesuai dengan pada pasal 23 huruf f adalah apabila mereka mengangkat sumpah untuk setia pada sebuah negara atau bagian dari negara. Menurut Hikmahanto, jika ISIS ini merupakan pemberontak dan merupakan bagian dari negara serta eks-WNI itu sudah melakukan sumpah setia, maka mereka sudah kehilangan kewarganegaraan.
"Atas dasar ini kalau mereka kehilangan kewarganegaraan maka tentu mereka sudah tidak lagi menjadi kewajiban Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan mereka ataupun melindungi mereka. Tidak ada itu," katanya.