REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga kembali mendapat kritikan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut buka suara mengkritisi isi RUU tersebut.
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga PBNU, Alissa Qotrunnada Munawaroh alias Alissa Wahid, bahkan memandang RUU Ketahanan Keluarga yang diinisiasi DPR tersebut terlalu aneh.
“Aneh-aneh saja. Nih orang-orang kayak (seperti) kurang masalah saja,” ujar Alissa yang merupakan putri almarhum KH Abdurrahman Wahid tersebut, sebagaimana dikutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama, Kamis (20/2).
Menurut Alissa, ada dua masalah dalam isi RUU Ketahanan Keluarga tersebut. Pertama, negara yang dianggap terlalu masuk pada ramah privat keluarga seperti mengurusi persoalan tempat tidur anak dan orang tua.
Menurut isi RUU, Pasal 33 ayat (2) huruf b, berbunyi : “memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara anak laki-laki dan anak perempuan.”
“Itu kan sangat privat, seharusnya engga perlu masuk. Kalau mau mengkampanyekan jangan satu kamar, ya jangan lewat RUU, tapi melalui gerakan sosial,” ujarnya.
Masalah kedua, menurut Alissa, ada kekeliruan cara pandang dalam hubungan suami istri sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3). Pada ayat (2) berbunyi kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain : a Sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
Kemudian b Melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiyaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran. c. Melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikontropika, dan zat adiktif lainnya. d Melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Selanjutnya pasal yang mengatur kewajiban istri, pasal 3 ayat (1) antara lain : a Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, b Menjaga keutuhan keluarga, c Memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Alissa, Pasal tersebut terlalu mendomestikkan perempuan karena tidak ada semangat keadilan dan keseimbangan di dalam keluarga.
“(RUU ketahanan keluarga) tidak ada semangat mubadalah, saling. Itu secara agama saja sudah salah pandangnya itu,” ujar dia.
Alissa berpesan, jika keberadaan RUU tersebut diperlukan maka harus ada kajian ulang. Karena keluarga merupakan unit sosial yang terkecil. “Harus dikaji lagi seberapa penting undang-undang ini,” ujar Alissa.