REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar
Dalam beberapa pekan terakhir setidaknya ada dua pejabat negara yang mengeluarkan pernyataan kontroversial dan membuat gaduh ruang publik. Yang pertama adalah Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dengan dua pernyataannya soal agama musuh Pancasila dan salam Pancasila. Kemudian Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty lewat pernyataan soal perempuan yang bisa hamil di kolam renang jika satu berenang satu kolam dengan laki-laki.
Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai fenomena di atas menandai buruknya rekrutmen pejabat negara. Namun, Dedi juga menyoroti soal perbedaan perlakuan lembaga masing-masing terhadap pejabat yang mengeluarkan pernyataan kontroversial.
Seperti diketahui, KPAI telah mengumumkan pembentukan Dewan Etik untuk 'mengadili' Sitti. Jika Sitti terancam sanksi etik dari KPAI, tidak demikian dengan Yudian. Hingga kini tidak ada tanda-tanda proses etik dari BPIP atau pihak Istana terkait dua pernyataan kontroversial Yudian.
Menurut Dedi, Dewan Etik memang tidak diperlukan untuk badan semacam BPIP. Sebab, Dewan Etik hanya layak ada di sebuah badan yang punya dampak hukum.
Namun menurut Dedi, Yudian seharusnya menyadari bahwa dirinya telah mencederai sebuah lembaga yang semestinya menjaga harmoni bangsa. Sebab, Pancasila dirumuskan dan disombolkan sebagai tanda pemersatu bangsa.
"Yudian telah merusaknya dengan statement pongah. Tanpa ada desakan sekalipun, Yudian seharusnya malu memanggul tanggung jawab sebagai ketua," kata Dedi.
Terkait dua perlakuan yang berbeda terhadap Sitti dan Yudian, menurut Dedi, hal itu menjadi sebuah dilema yang dapat disaksikan oleh masyarakat. Mengingat, satu sisi negara ini sudah dilengkapi Ombudsman, yaitu penjaga etika pejabat negara. Namun jika tidak ada tindakan apa pun dari Ombudsman, maka negara ini sebenarnya tidak memiliki sistem etik yang baik.
"Kecuali pemerintah merestui kontroversi yang dibuat kepala BPIP, maka sah-sah saja Yudian tetap merasa benar dengan statement-nya," keluhnya.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung meminta Kepala BPIP Yudian Wahyudi, untuk lebih hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Sebab, pernyataan dari Yudian akan menjadi sorotan setelah sejumlah kontroversinya.
"Lebih baik banyak bekerja daripada banyak mengeluarkan statement, karena tantangannya ke depan badan ini menjadi badan yang sangat strategis," ujar Doli, Rabu (26/2).
Kehati-hatian diperlukan Yudian, karena saat ini memang ada oknum-oknum yang terkadang memelintir pernyataan pejabat pemerintahan. Sebab, Komisi II sendiri telah menerima penjelasan dari BPIP bahwa agama bukanlah musuh Pancasila.
"Karena BPIP ini posisinya sangat penting dan strategis ya. Karena kami menilai bahwa salah satu yang membuat bangsa indonesia ini tetap utuh," ujar Doli.
Dewan etik untuk BPIP juga dinilai belum diperlukan oleh lembaga tersebut. Sebab dalam rapat kerja dengan Komisi II beberapa waktu lalu, BPIP berniat membentuk tim untuk menyampaikan pernyataan resmi. Sehingga, pernyataan yang keluar dari BPIP tak lagi berpolemik di masyarakat, khususnya yang terkait dengan suku, agama, dan ras.
"Tinggal kita bicara lebih lengkap tentang program-program apa yang harus dilakukan BPIP dalam rangka membumi kan Pancasila," ujar Doli.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yaqut Cholil Qoumas juga menilai BPIP tidak perlu membuat Dewan Etik seperti yang dibentuk KPAI. Pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu menilai, masyarakat cukup mendesak agar Presiden mengganti kepala BPIP.
"Enggak perlu (Dewan Etik), cukup mendesak Presiden untuk mengganti kepala BPIP yang bisa jaga mulut saja cukup," ujar Yaqut kepada Republika, Rabu (26/2).
Politikus PKB tersebut menganggap pembentukan struktur baru tersebut masih belum dianggap perlu. Menurutnya, masih banyak ahli yang mengerti tentang Pancasila.
"Mana yang mampu membedakan kapan bicara di ruang-ruang akademik, dan mana pembicaraan di ruang publik," tegasnya.
Sementara itu politikus Partai Gerindra Fadli Zon justru menilai pembubaran BPIP adalah solusi yang paling tepat. Hal itu lantaran BPIP dinilai terlalu sering buat gaduh.
"Enggak penting-penting amatlah (BPIP). Ini kan cuma nyari-nyari posisi aja, penempatan orang saja. Enggak penting ini lembaga," ujarnya.
Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) itu berpendapat wacana pembentukan Dewan Etik itu juga dinilai tidak perlu. Bahkan ia mempertanyakan tugas dari BPIP.
"Apalagi yang mau dibina? Sekarang kepalanya atau ketuanya saja pernyataannya bikin blunder terus menerus, masa ini dibiarkan? Dan ini membuat kegaduhan di masyarakat. Semangatnya bukan Pancasila, semangatnya memecah belah," tegasnya.
Menurut anggota Komisi II DPR RI, Sodik Mujahid tidak setiap lembaga negara memiliki aturan yang sama dalam dalam menyelesaikan persoalan etik. Begitu antara BPIP dan KPAI yang baru saja membentuk Dewan Etik untuk mengadili Sitti.
"Aturan main KPAI dengan Badan dalam hal ini BPIP jelas berbeda," tegas politikus Partai Gerindra, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (26/2).
Meski tidak ada Dewan Etik, kata Sodik, masyarakat tetap bisa untuk menilai kinerja BPIP. Masyarakat dapat menuntut yang bersangkutan kepada pimpinan BPIP langsung atau ke DPR RI. Sodik juga mengaku pihaknya telah menegur keras yang bersangkutan beberapa waktu lalu.
"Masyarakat yang menilai, pimpinan dan Presiden menilai. Jika masyarakat akan mempersoalkan secara hukum dengan argumentasi hukum yang kuat, silakan," terang Sodik.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi bersiap mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Permintaan maaf
Sitty Hikmawatty sebelumnya membuat pernyataan soal perempuan bisa hamil di kolam renang umum dari laki-laki yang mengeluarkan sperma di tempat tersebut. Sitty mengatakan, ada jenis sperma yang kuat tahan di kolam renang. Hal ini memicu komentar berbagai pihak mulai dari masyarakat hingga para ahli di bidang kedokteran.
Pernyataan tersebut saat ini sudah dinyatakan ditarik oleh Sitty. Ia juga meminta maaf kepada publik karena memberikan pernyataan yang tidak benar. Di dalam keterangannya Sitty menegaskan pernyataan tersebut merupakan sikap pribadi dirinya dan bukan pandangan dari KPAI.
Ia juga meminta agar masyarakat berhenti menyebarkn pernyataannya tersebut. "Saya memohon kepada semua pihak untuk tidak menyebarluaskan lebih jauh atau malah memviralkannya," tulis Sitty dalam keterangannya.
Adapun Yudian, kepada Republika, Rabu (12/2), memberikan klarifikasinya soal pernyataannya. Menurut Yudian, penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
"Karena kelima sila itu dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci keenam agama yang telah diakui secara konstitusional oleh negara Republik Indonesia," tegas Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, Rabu (12/2).
Maka dengan demikian, menurut Yudian, Pancasila adalah penopang. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kesetiaan atau bahasa lainnya sekuler, tapi bukan sekularisme. Kemudian membutuhkan ruang waktu, pelaku, anggaran dan juga perencanaan.
"Kasih contoh kita mau mewujudkan persatuan Indonesia, maka kita cari siapa panitianya kapan tempatnya, anggarannya seperti apa, acaranya apa itu namanya urusan manusia dan manusia di sini berarti manusia Indonesia," terang Yudian.
Hanya saja, dalam hubungan ini kerap terjadi ketegangan-ketegangan. Ada kelompok-kelompok minoritas yang mengaku mayoritas dan mereka membenturkan. Maka hal ini yang dimaksud Yudian, sebagai 'agama musuh Pancasila'.
"Kalau tidak pandai mengelola ini perilaku agama-agama ini akan menjadi musuh terbesar. Mengapa? karena setiap orang beragama, maka agama siapa kalau dibaca kan ketemunya Islam, Islam siapa begitu, itu yang saya maksud," tutur Yudian.
In Picture: KPAI Bentuk Dewan Etik, Sitti Hikmawatty Terancam Sanksi
Ketua KPAI Susanto (kanan) dan Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers di Kantor KPAI, Jakarta, Selasa (25/2).