REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah tidak berupaya mencari "rumus" lain untuk tetap menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.
"Biasanya kalau sudah dibatalkan, tiba-tiba dicari-cari 'rumus' lain untuk tetap menaikkan, Menurut kami di Komisi IX DPR putusan itu sudah final. Jangan dinaikkan lagi," katanya saat dihubungi, Senin (9/3).
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga meminta agar BPJS Kesehatan tetap memberikan pelayanan tanpa mengurangi manfaat kepada masyarakat setelah putusan MA tersebut. Menurut Saleh, rakyatlah sesungguhnya yang menjadi pemilik dari jaminan sosial sehingga manfaat yang sebesar-besarnya harus dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
"Nanti sama-sama kita pikirkan bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Kalau misalnya memang harus ada perubahan undang-undang, kami di Komisi IX dan DPR pada umumnya siap mengevaluasi undang-undang yang perlu disempurnakan," katanya.
Soal kenaikan iuran yang sudah diberlakukan sejak Januari, Saleh mengatakan putusan MA perlu dilihat kembali. Bila putusan tersebut mengikat mundur, membatalkan sejak Januari 2020, maka selisih kenaikan yang sudah dibayarkan masyarakat harus dikembalikan.
"Kalau tidak mengikat mundur, berarti iuran ke depan tidak lagi memberlakukan kenaikan," ujarnya.
Menurut dia yang lebih penting adalah meminta MA untuk segera memroses dan menyerahkan salinan putusan tersebut kepada pemerintah sehingga tidak ada alasan iuran peserta BPJS Kesehatan tetap dinaikkan karena belum menerima putusan.
MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020. Permohonan uji materi diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. Mereka meminta MA membatalkan kenaikan iuran tersebut.
Majelis hakim MA menyatakan Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.