REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk menambal defisit badan itu di luar konteks putusan yang membatalkan kenaikan iuran. MA telah membatalkan kenaikan iuran BPJS setelah menerima gugatan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
"Itu kan argumentasi dari BPJS Kesehatan, saya rasa itu di luar konteks putusan uji materi ini. Silakan untuk semua pihak mengkritisi, kami tidak akan memberikan komentar apa pun," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah di Jakarta, Kamis (12/3).
Dalam memutus uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu, majelis hakim memiliki pertimbangan prinsip keadilan. Penerbitan peraturan itu dinilai tidak mempertimbangkan kemampuan dan beban hidup layak yang ditanggung oleh masyarakat.
Abdullah mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyebabkan meningkatkan beban hidup seharusnya tidak dilakukan saat kemampuan masyarakat tidak meningkat.
"Bahkan tanpa diimbangi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS," tutur dia.
Pertimbangan berikutnya, MA menilai negara sebagai pemegang kebijakan semestinya bertindak lebih bijak saat anggaran kesehatan mendapat porsi besar. Majelis hakim berpendapat jaminan kesehatan yang masuk hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita pendiri Tanah Air seperti termaktub dalam UUD NRI 1945.
"Kesehatan sebagai HAM harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat," ujar Abdullah.