Jumat 13 Mar 2020 21:19 WIB

Lima Dampak Langsung Keberlakuan UU KPK Baru

UU itu semakin membuat KPK terpuruk dan lemah.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (Republika TV/Muhammad Rizki Triyana)
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (Republika TV/Muhammad Rizki Triyana)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan lima dampak langsung diberlakukannya UU KPK Nomor 19 tahun 2019. Menurut ICW, hasil dari UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tersebut semakin membuat KPK terpuruk dan lemah.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, dengan diberlakukannya UU KPK yang baru, lembaga antirasuah tunduk sepenuhnya kepada Presiden. Hal tersebut dapat dilihat dalam draft Peraturan Presiden yang mengatur tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Pimpinan dan Organ Pelaksana KPK yang sempat beredar beberapa waktu lalu. 

"Hal krusial dalam draft Perpres itu terdapat pada Pasal 1 yang menuliskan bahwa Pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat Menteri yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai kepala negara. Kesesatan berpikir ini merupakan dampak dari pengesahan revisi UU KPK yang menempatkan lembaga anti rasuah itu menjadi bagian dari pemerintah dan tidak lagi independen," ujar Kurnia dalam pesan singkatnya, Jumat (13/3).

Kedua, sambung Kurnia, KPK menjadi lambat membongkar skandal korupsi besar. Padahal, pada  awal Januari lalu KPK melakukan tangkap tangan yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. 

Efek dari UU KPK baru yang mengharuskan lembaga anti rasuah itu meminta izin Dewan Pengawas agar bisa melakukan tindakan penggeledahan merupakan hambatan utama. Sampai saat ini kantor DPP PDIP tak kunjung digeledah oleh KPK, padahal pada tingkat penyelidikan upaya untuk menyegel telah dilakukan oleh KPK.

Dampak ketiga terkait pelantikan Nurul Ghufron sebagai Pimpinan KPK yang tidak sah. Hal tersebut karena, UU KPK baru mengatur bahwa setiap orang yang akan dilantik menjadi Pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun. 

"Sedangkan calon Pimpinan KPK terpilih saat itu, Nurul Ghufron, masih berusia 45 tahun. Tentu, tindakan Presiden Joko Widodo yang tetap memaksakan pelantikan tersebut berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan," ucap Kurnia.

Keempat, lanjut Kurnia, hasil sadapan KPK dimusnahkan dalam 36 Perkara yang dihentikan. Diketahui, pada akhir Februari lalu KPK resmi menghentikan 36 perkara di tingkat penyelidikan. 

Dengan berlakunya UU KPK baru, maka jika di antara perkara-perkara tersebut dilakukan proses penyadapan, hasil sadapan itu harus dimusnahkan seketika. Padahal, tidak menutup kemungkinan jika dikemudian hari ditemukan bukti baru kasus-kasus tersebut dapat dibuka kembali.

Hal terakhir yang paling krusial adalah tingkat kepercayaan publik kepada KPK yang menurun drastis. Beberapa waktu lalu, Indobarometer baru saja merilis survei tingkat kepercayaan publik kepada lembaga negara. KPK yang sebelumnya selalu menempati peringkat tiga besar kali ini turun menjadi peringkat empat. 

"Tentu hasil ini tidak bisa dilepaskan dari potret buruk legislasi DPR dan Presiden yang memaksakan pengesahan revisi UU KPK. Problematika penindakan KPK berimbas pada kepercayaan publik yang kian menurun pada lembaga antirasuah ini," ujar Kurnia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement