REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Orang-orang Jepang dan jutaan turis seharusnya saat ini menikmati awal dari melihat bunga sakura, atau musim hanami.
Hanami adalah waktu yang sangat penting bagi negara ini, baik secara ekonomi maupun budaya. Secara tradisional teman dan keluarga berkumpul, dan untuk generasi milenial ini adalah kesempatan Instagram yang sempurna.
Namun tahun ini pandemi corona menyebabkan acara penting ini telah dibatalkan dan ini berarti kerugian besar bagi sektor pariwisata Jepang.
Katsuhiro Miyamoto dari Universitas Kansai menyoroti pentingnya keuangan dari hanami. "Musim bunga sakura di Jepang memiliki dampak ekonomi yang sangat besar setiap tahun," kata Miyamoto, dilansir di BBC, Jumat (20/3).
Dia memperkirakan bahwa hampir 8,5 juta wisatawan mengunjungi negara itu selama musim bunga sakura antara Maret dan Mei tahun lalu, menghasilkan sekitar 650 miliar yen (sekitar Rp 93,6 triliun).
Profesor Miyamoto memperkirakan langkah-langkah untuk mengatasi pandemi covid-19 akan memukul angka pariwisata musim ini, dengan pendapatan turun lebih dari sepertiga menjadi kurang dari 400 miliar yen (sekitar Rp 57,6 triliun).
Seijiro Takeshita dari Universitas Shizuoka menggarisbawahi mengapa pertemuan itu, di mana orang makan dan minum dan bersenang-senang, sangat penting bagi ekonomi Jepang.
"Kami menggunakan ungkapan 'dompet menjadi longgar', artinya orang cenderung memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk dibelanjakan," ujarnya.
"Kami memiliki banyak ikatan emosional dengan bunga ini dan musim hanami memiliki banyak faktor budaya, banyak faktor historis di baliknya," tambah Profesor Takeshita.
Tahun ini acara hanami dibatalkan di seluruh negeri karena pihak berwenang berusaha untuk memperlambat penyebaran virus corona.
Pekan lalu gubernur Tokyo, Yuriko Koike, mendesak masyarakat agar tidak mengadakan pesta tradisional ini. Pada saat yang sama Koike merujuk pada pentingnya budaya hanami saat dia mengatakan bahwa itu seperti menghilangkan budaya pelukan dari orang Italia.