REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus bentrokan antara TNI-Polri yang disebut terjadi karena kesalahpahaman dinilai menyepelekan masalah. Padahal, kejadian itu merupakan penyakit kambuhan yang kerap terjadi berulang kali dan tidak pernah diobati dengan baik.
"Kasus seperti itu selalu disimpulkan sebagai kesalahpahaman. Lantas kesalahpahaman macam apa yang kemudian diselesaikan dengan cara barbar begitu? Itu seperti menyederhanakan masalah. Seolah sepele," jelas peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, kepada Republika.co.id, Selasa (14/4).
Khairul mengatakan, kejadian bentrokan TNI-Polri merupakan penyakit kambuhan yang terjadi berulang kali. Menurutnya, upaya mengobati penyakit kambuhan tersebut pun tidak pernah dilakukan dengan baik. Semestinya, kata dia, harus ada komitmen bersama untuk membenahi internal masing-masing instansi.
"Karena pemicunya ada di dalam rumah. Seperti egosektoral, superioritas, kebanggaan dan jiwa korsa yang dipompa berlebihan, yang kemudian berekses rendahnya penghormatan dan hadirnya ketidaksukaan pada pihak lain," terang dia.
Menurutnya, para prajurit, baik TNI maupun Polri, memang dicetak untuk bermental juara. Karena itu, kesalahan dan kekalahan adalah hal yang dianggap sangat memalukan. Ia menyebutkan, kunci untuk membenahi itu semua ialah melakukan pembenahan praktik kepemimpinan, terutama bagi para pimpinan atau perwira di lapangan.
"Merekalah yang mestinya paling dulu menerapkan kedisiplinan, kepatuhan dan kesadaran untuk tidak melakukan tindakan yang memalukan dan merusak nama baik korps, dan ini akan menjadi teladan bagi para personel di bawahnya," jelas Khairul.
Sebelumnya, Kapolda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw memastikan jajarannya telah berkonsolidasi pascabentrok Polri-TNI pada 11 April 2020 lalu. Paulus menyebut, penarikan senjata pada para anggota Polres Memberamo yang terlibat rusuh telah dilakukan.
"Masuk ke markas masing-masing, (senjata) suruh taruh di gudang," kata Paulus saat dikonfirmasi, Selasa (14/4).
Ia menjelaskan, penarikan ini merupakan bagian dari konsolidasi dan menghindarkan aksi balas dendam para anggota. Ia meyakini, konsolidasi antara jajaran TNI-Polri telah terbentuk.
Menurut Paulus, insiden yang menyebabkan tiga anggota Polres Memberamo Raya ini bermula dari permasalahan sewa motor. Seorang anggota Polres menyewa motor seorang tukang ojek yang memiliki hubungan dengan anggtoa Satuan Tugas Batalion Infanteri 755/Yalet.
Markas Satgas tersebut juga dekat dengan pangkalan ojek. "Anggota Polres sewa motor ojek untuk jemput pastor hari sabtu itu, janjinya satu jam akan dibayar," kata Paulus.
Namun, ternyata peminjaman yang dilakukan melebihi batas waktu. Sehingga, terjadi keributan antara tukang ojek itu dengan polisi penyewa. Lalu, tukang ojek tersebut melapor ke anggota Satgas Yonif. Satgas Yonif datang dan terjadi pertikaian dengan polisi.
Kapolres mengingatkan agar para anggotanya jangan membalas dan tak berbuat apa-apa terlebih dahulu. Namun, imbauan Kapolres tak diindahkan.
Akibatnya, bentrok pun terjadi dan menyebabkan tewasnya tiga anggota polisi. Tiga anggota yang tewas adalah Briptu Marcelino Rumaikewi, Briptu Alexander Ndun dan Bripda Yosias. Marcelino tewas karena luka tembak di leher sebelah kanan; Yosias mengalami luka tembak di leher kiri dan Alexander tewas dengan luka tembak di paha kiri. "Ini salah paham yang disesalkan pimpinan masing-masing," kata Paulus.
Menurut Paulus, tim investigasi gabungan TNI Polri masih melakukan penyelidikan. Bukan hanya prajurit TNI yang diselidiki, namun anggota polisi juga turut diselidiki. "Kena juga anggota kita, kita konsolidasikan dulu, sudah dilakukan pemeriksaan awal," ujar Paulus.