Sabtu 09 May 2020 09:41 WIB

Mengenal Mustafa al-Kadhimi, Perdana Menteri Baru Irak

Mustafa al-Kadhimi berjanji memerangi korupsi dan membatasi akses senjata di Irak

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Perdana Menteri Irak yang baru terpilih Mustafa al-Kadhimi menyampaikan pidatonya di Baghdad pada Rabu (6/5). Mustafa al-Kadhimi berjanji memerangi korupsi dan membatasi akses senjata di Irak.
Foto: EPA
Perdana Menteri Irak yang baru terpilih Mustafa al-Kadhimi menyampaikan pidatonya di Baghdad pada Rabu (6/5). Mustafa al-Kadhimi berjanji memerangi korupsi dan membatasi akses senjata di Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Irak memiliki Perdana Menteri baru yakni Mustafa al-Kadhimi setelah lima bulan terjadi dua kali kegagalan untuk membentuk pemerintahan. Dia dinominasikan oleh Presiden Irak Barham Salih setelah dua calon sebelumnya gagal membentuk pemerintahan.

Negara ini sedang menghadapi banyak krisis. Termasuk ekonomi yang terpukul oleh rendahnya harga minyak yang merupakan sumber utama pendapatan negara hingga pandemi virus corona. Namun dengan terpilihnya al-Kadhimi, ada optimisme jalan pemulihan bagi Irak.

Baca Juga

Dikutip dari Al Arabiya, al-Kadhimi telah berjanji untuk memerangi korupsi, membatasi akses senjata bagi orang yang ada dalam pemerintahan, dan mengembalikan para pengungsi ke rumah mereka. Dia memprioritaskan meminta pertanggungjawaban sosok yang telah membunuh demonstran selama bulan-bulan kerusuhan. Al-Khadimi juga menjanjikan pemilihan awal dan mengesahkan undang-undang anggaran mengatasi krisis ekonomi.

Selama lima bulan, Irak tidak memiliki pemerintahan setelah pengunduran diri mantan Perdana Menteri Adil Abdul Mahdi. Dia mengundurkan diri ketika ribuan demonstran anti-pemerintah turun ke jalan untuk menuntut pekerjaan dan pencopotan elit penguasa Irak.

Sebanyak 15 posisi kabinet telah terisi, meski masih ada beberapa yang kosong, termasuk urusan luar negeri, keadilan, minyak, pertanian, dan perdagangan. Kekosongan ini terjadi karena partai-partai politik besar gagal membentuk konsensus tentang pengalokasikan posisi itu.

Al-Kadhimi disambut baik oleh Amerika Serikat, Arab Saudi, dan negara-negara lain sebagai perdana menteri baru. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo memperpanjang pengabaian sanksi pada 26 April sehingga memungkinkan Irak mengimpor energi selama leboh dari 30 hari ke depan.

"Jika Kadhimi adalah seorang nasionalis Irak, yang berdedikasi untuk mengejar Irak yang berdaulat, jika dia berkomitmen untuk memerangi korupsi, ini akan bagus untuk Irak dan kami pikir itu akan bagus untuk hubungan bilateral kami," kata Diplomat Departemen Luar Negeri untuk Timur Tengah, David Schenker.

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman memanggil pemimpin baru Irak. Dia menegaskan kembali dukungan Kerajaan untuk Irak dalam mencapai stabilitas dan keamanan.

Sebuah sumber yang dekat dengan al-Kadhimi mengatakan pemimpin baru Irak ini memiliki kepribadian yang unik dan ideologi pragmatis. Dia juga memiliki hubungan yang baik dengan semua pemain yang terlibat di Irak.

"Dia memiliki hubungan baik dengan Amerika dan hubungan yang baru saja pulih dengan Iran," ujar sumber tersebut.

Tapi Irak berisiko semakin terperangkap di tengah-tengah ketegangan antara Washington dan Teheran. Kelompok-kelompok milisi bersumpah membalas dendam atas pembunuhan komandan tinggi Iran Qassem Soleimani dan rekannya di Irak Abu Mahdi al-Muhandis, yang terbunuh di tanah Irak.

Pemimpin baru Irak ini memang menghadapi banyak sekali tantangan. Namun sebelum naik ke puncak politik, dia memiliki karier di bidang jurnalisme dan kemudian menjabat sebagai kepala mata-mata negara itu.

Al-Kadhimi lahir di Baghdad pada 1967 dan belajar hukum sebelum menjadi seorang jurnalis. Dia dikenal karena menentang almarhum Presiden Irak Saddam Hussein.

Kondisi itu membuatnya tinggal di luar negeri seperti  Iran, Swedia, dan Inggris. Dia sempat bekerja di beberapa posisi, termasuk menjabat sebagai editor Pulse Irak untuk Al-Monitor dan direktur Humanitarian Dialogue Foundation di London.

Setelah invasi AS ke Irak tahun 2003, al-Kadhimi kembali ke tanah airnya dan membantu mendirikan Iraqi Media Network. Ia menjadi direktur eksekutif Iraq Memory Foundation yang bekerja untuk mendokumentasikan kejahatan yang dilakukan oleh rezim Saddam Hussein. Pada Juni 2016, al-Kadhimi diangkat sebagai kepala Dinas Intelijen Nasional Irak di tengah pertempuran melawan ISIS.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement