REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan tanggapan terhadap rencana kenaikan iuran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Wakil Ketua Umum MUI) Muhyiddin Junaidi menyebut, rencana itu membuat rakyat miskin kian menderita, terutama saat pandemi wabah Covid-19 ini.
"Kebijakan tersebut sangat menyakitkan rakyat miskin, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan ambigu dan kontroversial itu bukti nyata bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat miskin," tutur dia dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/5).
Terlebih, Muhyiddin melanjutkan, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA). Sebab, putusan MA sendiri sudah menolak kebijakan pemerintah sebelumnya soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Iuran BPJS Kesehatan dinaikkan pemerintah yang ditandai dengan terbitnya Perpres 64/2020. Perpres ini memutuskan iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) kelas I sebesar Rp 150 ribu.
Sementara kelas II yakni sebesar Rp 100 ribu, dan kelas III, iuran yang ditetapkan sebesar Rp 42 ribu. Angka ini lebih rendah dari Perpres 75/2019 yang sebesar Rp 160 ribu kelas I, kelas II sebesar Rp 110 ribu, dan Rp 51 ribu kelas III.
Dengan Perpres 64/2020 itu, maka iuran peserta kelas I yang sebelumnya Rp 80 ribu naik menjadi Rp 150 ribu, sedangkan kelas II yang sebelumnya Rp 51 ribu naik menjadi Rp 100 ribu. Kenaikan diberlakukan mulai Juli 2020. Sedangkan untuk iuran peserta kelas III yang sebelumnya Rp 25.500 naik menjadi Rp 42 ribu.
Tetapi khusus untuk peserta kategori PBPU dan BP pada kelas III disubsidi pemerintah Rp 16.500 sehingga mereka tetap akan membayar iuran Rp 25.500. Namun, per Januari 2021, subsidi iuran dari pemerintah akan dikurangi menjadi Rp 7.000 sehingga para peserta akan membayar iuran Rp 35 ribu.