Jumat 15 May 2020 17:36 WIB

Vaksin Covid-19 yang Diprediksi Baru Tersedia Dua Tahun Lagi

WHO sudah mengingatkan seluruh negara untuk siap hidup tanpa vaksin Covid-19.

Peneliti tengah mengembangkan vaksin Covid-19 di Center for Pharmaceutical Research di Kansas, Amerika Serikat. Upaya untuk mengembangkan vaksin corona dilakukan di banyak negara. Perusahaan farmasi berlomba mencari rumusan vaksin Covid-19 yang paling sesuai.
Foto: Center for Pharmaceutical Research via AP
Peneliti tengah mengembangkan vaksin Covid-19 di Center for Pharmaceutical Research di Kansas, Amerika Serikat. Upaya untuk mengembangkan vaksin corona dilakukan di banyak negara. Perusahaan farmasi berlomba mencari rumusan vaksin Covid-19 yang paling sesuai.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Antara

Upaya menemukan ramuan vaksin bagi virus corona jenis baru atau Covid-19 terus dilakukan di berbagai belahan dunia. Vaksin apapun bagi Covid-19 namun diyakini tidak akan tersedia setidaknya dalam waktu dua tahun ke depan.

Baca Juga

"Hasil dari studi klinis pertama calon vaksin seharusnya tersedia pada musim gugur," kata CEO perusahaan farmasi Swiss Novartis, Vas Narasimhan, kepada surat kabar Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ). "Jika semuanya berjalan seperti yang kita harapkan maka akan membutuhkan 24 bulan sebelum kami membuat sebuah vaksin."

Novartis tidak lagi membuat vaksinnya sendiri sebab telah menjual bisnis vaksin miliknya pada 2015 kepada GlaxoSmithKline, satu dari banyak perusahaan di dunia yang sedang berlomba menemukan obat untuk virus corona. Sejumlah perusahaan telah melakukan uji coba calon vaksin pada manusia.

Misal saja, Moderna Inc telah mempercepat rencana untuk vaksin eksperimental Covid-19 dan mengatakan pihaknya berharap dapat memulai uji coba tahap akhir pada awal musim panas. Namun pada pakar mengatakan tidak ada vaksin yang diperkirakan siap untuk digunakan sampai setidaknya 2021, sebab vaksin harus diuji pada manusia secara luas sebelum diberikan kepada ratusan juta, atau bahkan miliaran, orang untuk mencegah infeksi.

Dikutip dari Reuters, Narasimhan, ketua pengembangan di bisnis vaksin Novartis, mengatakan produksi vaksin yang cukup untuk dunia juga akan menjadi sebuah tantangan. Menurutnya, membangun pabrik baru biasanya memakan waktu tiga hingga empat tahun.

"Itu terlalu lama," katanya kepada FAZ. "Kita harus menggunakan jaringan yang sudah ada untuk segera memproduksi jumlah yang lebih besar."

Sementara itu di Jerman, upaya untuk menghasilkan vaksin corona disebut sudah bisa dilakukan tes akhirnya sebelum akhir tahun ini. Profesor Klaus Cichutek, kepala Institut Paul Ehrlich, mengatakan kepada harian Mannheimer Morgen  ia berharap proyek penelitian vaksin saat ini di Jerman akan mencapai perkembangan dalam beberapa bulan ke depan.

Menurutnya, sebuah calon vaksin sudah bisa siap paling cepat pada musim gugur untuk percobaan tahap akhir, saat kemanjuran serta keamanan akan dievaluasi sebelum mengantongi persetujuan untuk digunakan oleh masyarakat. "Jika semua uji klinis ini sukses, menjelang akhir tahun atau awal tahun depan kita dapat membahas bagaimana melanjutkan proses persetujuan," katanya.

Pada April, perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech, mulai melakukan uji coba potensi vaksin Covid-19 pada manusia setelah menerima kewenangan dari Institut Paul Ehrlich. Profesor Cichutek menyebutkan tiga pusat riset lainnya di Jerman juga diharapkan segera memulai uji coba klinis untuk calon vaksin mereka.

Para ilmuwan dan peneliti di seluruh dunia berlomba-lomba menemukan vaksin untuk virus corona, yang muncul di China pada Desember lalu dan telah menginfeksi hampir 4,38 juta orang secara global serta menelan lebih dari 298.000 korban jiwa.

Sambil menunggu vaksin ditemukan, para ahli mengobati pasien dengan obat antimalaria, termasuk hydroxychloroquine dan chloroquine, yang telah menunjukkan hasil positif untuk pengobatan penyakit paru-paru terkait Covid-19, dilansir dari Anadolu.

Bila nantinya vaksin tersedia, vaksin dipastikan akan bisa diakses oleh masyarakat di seluruh dunia. Tidak ada negara yang bisa memiliki prioritas menguasai vaksin Covid-19.

GlaxoSmithKline bekerja sama dengan farmasi multinasional asal Prancis, Sanofi, untuk mengembangkan vaksin virus corona. Namun uji klinis belum dimulai. Obat yang dihasilkan tidak mungkin muncul sebelum 2021.

Kemitaraan antara Sanofi dan GlaxoSmithKline didanai oleh Biomedical Advanced Research and Development Authority. Ia adalah sebuah divisi dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.

Vaksin corona yang akan dibuat Sanofi sebelumnya menimbulkan kontroversi karena disebut akan diprioritaskan bagi penggunaan di Amerika. Sanofi lalu menyanggahnya mengatakan vaksin potensial untuk Covid-19 akan tersedia bagi seluruh negara di dunia. Tak ada sebuah negara yang diistimewakan untuk memperoleh vaksin tersebut.

“Tidak akan ada keuntungan khusus yang diberikan kepada negara mana pun,” kata Chairman Sanofi Serge Weinberg pada Kamis (14/5).

Sebelumnya CEO Sanofi Paul Hudson membuat kegemparan karena mengatakan Amerika Serikat akan memperoleh akses prioritas terhadap vaksin Covid-19 yang dikembangkannya perusahaannya. Alasannya karena Washington berinvestasi dalam mengambil risiko.

“Komentar CEO kami telah diubah. Kami menganggap vaksin sebagai barang umum,” ujar Weinberg.

Sebelum pernyataan Hudson diklarifikasi oleh Weinberg, kritik dan kecaman terhadap Sanofi muncul dari berbagai pihak, termasuk para pejabat Prancis. “Bagi kami itu tidak dapat diterima (jika AS diprioritaskan mendapat vaksin) karena ada akses istimewa ke negara ini dan itu untuk alasan keuangan," kata Wakil Menteri Keuangan Prancis Pannier-Runacher dalam sebuah wawancara dengan Sud Radio.

Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe turut angkat bicara. Dia menegaskan bahwa akses terhadap vaksin untuk semua negara tak dapat dinegosiasikan.

Pernyataan Philippe juga didengungkan Uni Eropa. “Vaksin terhadap Covid-19 harus menjadi barang publik global dan aksesnya harus merata serta universal,” kata juru bicara Komisi Eropa Stefan de Keersmaecker.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya telah memperingatkan Covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang. Kalaupun nanti vaksin ditemukan, upaya mengendalikan virus membutuhkan upaya besar-besaran.

"Penting untuk meletakkan ini di atas meja: virus ini dapat menjadi virus endemik lain di masyarakat kita dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang," kata Direktur Program Kedaruratan WHO Dr Mike Ryan dalam sebuah konferensi pers virtual, dikutip laman BBC.

Ryan menyebut saat ini terdapat 100 vaksin potensial yang tengah dikembangkan untuk Covid-19. Namun dia mencatat ada penyakit lain, seperti campak, yang masih belum bisa dihilangkan walaupun telah ditemukan vaksinnya. "HIV belum hilang, tapi kita telah sepakat dengan virus ini," katanya.

Dia mengaku tidak mempercayai siapa pun dapat memprediksi kapan Covid-19 akan hilang. "Saya pikir tidak ada janji dalam hal ini dan tidak ada tanggal. Penyakit ini bisa menjadi masalah yang lama atau mungkin juga tidak," ujarnya.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan upaya mengendalikan penyebaran Covid-19 masih mungkin dilakukan. "Arah ada di tangan kita dan itu urusan semua orang. Kita semua harus berkontribusi untuk menghentikan pandemi ini," ucapnya.

Dia kembali memperingatkan negara-negara yang mulai melonggarkan karantina wilayah. "Banyak negara ingin keluar dari langkah-langkah yang berbeda. Tapi rekomendasi kami tetap waspada di negara mana pun harus pada tingkat setinggi mungkin," kata Ghebreyesus.

Organisasi nirlaba internasional Oxfam mendesak para pemangku kebijakan dan perusahaan farmasi global untuk membebaskan hak paten untuk vaksin Covid-19 dan dengan biaya produksi serta distribusi yang murah. “Biaya untuk memberi vaksin kepada 3,7 miliar orang lebih murah dibandingkan dengan biaya dan keuntungan sepuluh perusahaan farmasi terbesar dalam empat bulan. Apa pun yang menghambat vaksin tersedia secara gratis bagi mereka yang membutuhkan adalah sebuah tindakan keji,” kata Direktur Eksekutif Interim Oxfam International Jose Maria Vera dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Desakan tersebut dilayangkan menjelang pertemuan Majelis Kesehatan Dunia yang akan berlangsung secara virtual pada Senin 18 Mei dan akan dihadiri oleh menteri kesehatan dari 194 negara di dunia. Gates Foundation memperkirakan bahwa biaya pengadaan dan pengiriman vaksin yang aman dan efektif untuk orang-orang termiskin di dunia adalah sebesar Rp 372,2 miliar. Tahun lalu, sepuluh besar perusahaan farmasi dunia menghasilkan laba Rp 1,4 triliun dengan rata-rata Rp 447,9 miliar setiap empat bulan.

Oxfam memperingatkan, jika negara-negara kaya dan perusahaan farmasi besar hanya mengedepankan kepentingan negara dan sektor privattanpa mempertimbangkan kondisi negara lain, maka vaksin akan semakin sulit diakses oleh kelompok rentan. Terutama mereka yang tinggal di negara berkembang.

Uni Eropa telah mengusulkan pengumpulan paten dan lisensi silang secara sukarela untuk vaksin, perawatan, dan tes virus corona dalam rancangan resolusi mereka untuk Majelis Kesehatan Dunia.

Jika usulan ini diwajibkan di seluruh dunia, maka semua negara dapat memastikan produksi dan impor vaksin, perawatan, dan tes yang tersedia dengan biaya yang lebih rendah. Namun, Oxfam menyebutkan ada sebuah dokumen yang bocor mengungkapkan bahwa pemerintahan Trump tengah mencoba untuk menghapus aturan lisensi silang (pooled patent) dan mendorong hak paten industri farmasi.

Jika pernyataan ini lolos, maka perusahaan farmasi akan memiliki hak eksklusif untuk melancarkan monopoli yaitu memproduksi dan menetapkan sendiri harga setiap vaksin, perawatan, dan tes yang mereka kembangkan. Dan bahkan jika uang pajak telah digunakan untuk mendanai penelitian dan pengembangan tersebut.

“Vaksin, tes dan perawatan harus didistribusikan sesuai dengan kebutuhan dan tidak dilelang kepada penawar tertinggi. Kami membutuhkan vaksin, perawatan, serta tes yang aman dan bebas paten yang dapat diproduksi secara massal di seluruh dunia. Distribusi pun harus dilakukan secara jelas dan adil bagi mereka yang membutuhkan,” kata Vera.

Setelah vaksin atau perawatan dikembangkan, menurut Vera, terdapat risiko tinggi bahwa pemerintah yang kaya akan memaksakan jalan mereka ke depan dan mengalahkan negara-negara miskin dan berkembang, seperti yang terjadi dalam perebutan pasokan medis penting lainnya seperti alat pelindung diri dan oksigen.

Banyak negara miskin tidak dapat mengakses vaksin esensial dan obat-obatan karena aturan paten yang memberi hak monopoli perusahaan farmasi dan kekuatan untuk menetapkan harga jauh di atas apa yang mereka mampu. Oxfam mendesak para pemangku kebijakan untuk menjamin bahwa vaksin, tes, serta perawatan akan bebas paten dan didistribusikan secara merata ke semua negara dan kelompok masyarakat.

Country Director dari Oxfam di Indonesia Maria Lauranti mengatakan pemerintah Indonesia berperan sangat besar untuk memperjuangkan kebijakan kesehatan di tingkat global dengan memastikan vaksin dapat diakses oleh semua tanpa terkecuali di negara-negara berkembang dan miskin. “Pemerintah Indonesia tidak terkecuali memiliki tanggung jawab untuk mengawal ini di tingkat global. Sebagai Ketua dari Foreign Policy and Global Health Initiative di tahun 2020, Indonesia mengangkat tema pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi semua,” kata Maria.

Vaksin yang terjangkau untuk semua orang akan membutuhkan kerja sama global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah harus mengutamakan kesehatan orang di atas paten dan keuntungan perusahaan farmasi.

photo
Asupan protein untuk penderita Covid-19 - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement