REPUBLIKA.CO.ID, Langkah okupasi pertama Yahudi terhadap Palestina adalah dengan pendekatan diplomasi dana kelompok Zionis kepada Sultan Hamid II di Turki pada 1906. Kaum Yahudi menghendaki Palestina sebagai daerah pemukiman eksklusif Yahudi setelah mengalami diaspora. Imbalannya, Zionisme akan membayar hutang Turki Utsmani. Namun upaya ini gagal.
Sepuluh tahun kemudian, diplomasi Yahudi dilakukan kepada salah satu kompetitor Turki, yakni Inggris yang memiliki hak protektorat terhadap wilayah Palestina. Upaya ini berhasil. Balfour Declaration terbit, dan memberikan mandat bagi orang Yahudi untuk bisa tinggal dan menetap di Palestina.
Piagam itu 'setali tiga uang' dengan adanya Revolusi Bolshevik di Rusia. Sebab salah satu implikasi revolusi tersebut adalah pengusiran orang Yahudi dari Rusia. Dan berikutnya, tahun 1927 mulai ditandai dengan gejala pendudukan atau okupasi massif secara etnis.
Menurut Roger Geraudy, okupasi Yahudi ini sama dengan ''kolonialisme demografi'', yakni sebuah upaya untuk memenangkan jumlah penduduk Yahudi dengan mendatangkan seluruh orang Yahudi (imigrasi) untuk masuk Palestina. Upaya ini serius. Sepuluh tahun kemudian, yakni 1937, jumlah populasi Yahudi di Palestina sudah menggalahkan populasi Arab. Dengan jumlah populasi yang lebih besar ini memungkinkan komunitas Zionis pada 1948 melakukan deklarasi negara Israel Raya di 1948.
Tindakan Israel kian agresif terhadap komunitas Arab dan Islam. Hal itu kemudian menciptakan beberapa perang. Pada 1956 terjadi perang Arab-Israel I -- sebuah perang besar yang melibatkan negara Arab dan di luar Arab. Israel juga menginisiasi sebuah perang baru yang kemudian dikenal dengan perang Yom Kippur pada 1967.
Perang itu menyebabkan komunitas dan negara Arab mulai berpikir ulang untuk melakukan konfrontasi langsung dengan Israel. Hal ini ditandai Piagam Perdamaian Camp David pada 1978, yang merupakan sebuah piagam yang ''menggembosi'' bentuk-bentuk perlawanan negara-negara Arab kepada Israel. Akibatnya, pada 1987, aksi brutal Israel di Sabra dan Satilla dan beberapa wilayah Palestina, hampir tidak mendapatkan reaksi emosional dari negara-negara Arab dalam bentuk dukungan politik dan persenjataan. Bangsa Palestina harus berjuang sendiri menghadapi aksi brutal Israel dengan lahirnya gerakan Intifadah.
Intifadah merupakan bentuk perjuangan otonom bangsa Palestina untuk tegak berdiri, dan tidak bergantung kepada bantuan negara-negara Arab. Proses pengorganisasian perlawanan terhadap Israel menguat dengan lahirnya organisasi semisal PLO, Hamas, dan Jihad Islam.
Perkembangan berbagai macam organisasi perlawanan Islam ini kemudian mengilhami Israel untuk berpikir ulang bagaimana cara menghadapi perlawanan massif masyarakat Palestina. PLO sebagai salah satu faksi yang diakui di PBB sebagai representasi masyarakat Palestina sudah mencanangkan kemerdekaan secara mandiri di 1997. Namun, Israel kembali melancarkan aksi yang sangat menarik dengan melakukan negosiasi dalam bentuk perundingan di Oslo, Madrid, Gaza Jericho First, Why River, dan Camp David II.
Perundingan-perundingan itu menempatkan Palestina semakin tidak berdaya dalam diplomasi. Karena pascaperundingan, bukan jalan damai yang diperoleh, melainkan ''pengentalan kekerasan.'' Perundingan merupakan jalan ''sukses'' Israel untuk menekan Palestina.