Jumat 05 Jun 2020 18:41 WIB

Analisis Rupiah Bisa Tembus ke Kisaran Rp 13 Ribu Per Dolar

Nilai tukar rupiah terus menguat pada akhir pekan pekan pertama Juni.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan ke sejumlah uang rupiah yang baru diterima dari nasabah di kantor BNI Cabang Kupang, NTT (3/6). Nilai tukar rupiah pada akhir pekan ini menguat ke kisaran Rp 13 ribu per dolar AS. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Kornelis Kaha
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan ke sejumlah uang rupiah yang baru diterima dari nasabah di kantor BNI Cabang Kupang, NTT (3/6). Nilai tukar rupiah pada akhir pekan ini menguat ke kisaran Rp 13 ribu per dolar AS. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Retno Wulandhari, Lida Puspaningtyas, Antara

Nilai tukar rupiah terus menguat pada akhir pekan pekan pertama Juni, Jumat (5/6). Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan nilai tukar rupiah akhirnya menembus kisaran Rp 13 ribu per dolar AS.

Baca Juga

"Nilai tukar rupiah, Alhamdulillah sudah tembus di bawah Rp 14 ribu, ini rahmat Allah SWT kepada kita semua bangsa Indonesia," kata Perry dalam konferensi virtual pekanan, Jumat (5/6).

Perry menyebut rupiah diperdagangkan di angka Rp 13 ribu, untuk bid sekitar Rp 13.855 dan offer Rp 13.960 per dolar AS. Rupiah menguat sesuai dengan pengamatan BI yang masih undervalue, sehingga masih berpotensi menguat kedepannya.

Potensi penguatan dilihat dari perhitungan inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang diperkirakan lebih rendah, perbedaan suku bunga yang tinggi antara dalam dan luar negeri, juga perhitungan indeks premi risiko yang belum kembali ke posisi sebelum Covid-19.

Perry menyampaikan perkembangan terbaru untuk perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri masih tinggi yakni 6,2 persen. Yield SBN 10 tahun Indonesia masih 7,06 persen sementara suku bunga obligasi pemerintah AS yakni US Treasury Bonds yakni 0,8 persen.

"Perbedaan 6,2 persen itu tinggi, SBN sebagai salah satu instrumen dengan imbal hasil investasi artinya nilai aset keuangan indonesia masih tinggi," katanya.

Ini menjadi salah satu indikator nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat. Indikator lain yakni indikasi premi risiko credit default swap (CDS) yang saat ini posisinya di angka 126. Sudah turun dari kondisi saat puncak wabah sebesar 245. Meski sudah turun, namun masih belum mencapai kondisi sebelum Covid-19 yang sebesar 66-68.

Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim menyampaikan indeks dolar AS terus melemah karena beberapa hal faktor eksternal dan internal. Seperti Bank sentral Eropa (ECB) yang kembali menggolontorkan stimulus sebesar 600 miliar euro. Selain itu, roda bisnis di diberbagai belahan dunia sudah kembali berputar meski secara perlahan.

"Roda bisnis sudah kembali berputar, sehingga  akan terhindar dari resesi panjang bahkan kemungkinan depresi yang ditakutkan pelaku pasar," kata Ibrahim, Jumat (5/6).

Dari dalam negeri, lanjut Ibrahim, strategi bauran ekonomi yang sudah di terapkan pemerintah dan Bank Indonesia saat ini menambah gaya dorong bagi terlaksananya roda perekonomian. Hal ini didukung pula oleh pemberlakukan new normal, terutama di DKI Jakarta.

Ibrahim melihat, keputusan ini akan menggeliatkan roda perekonomian di DKI Jakarta yang merupakan barometer ekonomi Indonesia. Menurut Ibrahim, ini akan menambah optimisme pelaku pasar terhadap pasar dalam negeri.

Disamping itu, Ibrahim menilai, suku bunga obligasi yang tinggi akan menjadi magnet tersendiri bagi pelaku pasar. Sehingga wajar saja arus modal asing yang masuk ke pasar dalam negeri cukup deras di saat New Normal ini.

"Lagi lagi yang dimenangkan mata uang garuda bahkan terus perkasa di minggu ini," tutup Ibrahim.

Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede, berpendapat, tren penguatan rupiah hari ini disebabkan sentimen domestik menyusul penerapan masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. PSBB transisi diharapkan mampu mendorong produktivitas kegiatan ekonomi.

“Jika implementasi PSBB terbatas yang nantinya akan diikuti juga oleh implementasi normal baru dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan kasus baru lagi di kemudian hari, maka aktivitas perekonomian pada kuartal III tahun 2020 diperkirakan akan membaik dibandingkan kuartal II tahun 2020 yang diperkirakan akan mengalami kontraksi,” ujar Joshua.

Selain itu, dari sisi eksternal, mata uang greenback dolar AS juga telah melemah 1,56 persen dalam sepekan terakhir. Pelemahan mata uang paling berpengaruh di dunia itu disebabkan oleh terakumulasinya ekspektasi dari para investor setelah pembukaan kembali kegiatan ekonomi di berbagai negara Asia.

“Terbukti dari sisi pasar Asia, sebagian besar mata uang Asia di pekan ini mengalami penguatan, kecuali Yen. Penguatan lebih lanjut dari rupiah juga akibat adanya investor yang memindahkan asetnya dari pasar India, akibat adanya penurunan peringkat (downgrade rating) dari BAA2 menjadi BAA3 dan menurunnya prospek (outlook) dari stabil menjadi negatif,” ujar Josua.

Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menilai, pada malam ini, pasar akan menantikan data ketenagakerjaan non-pertanian AS (US Non Farm Payrolls). Kendati demikian, kata dia, aset berisiko masih berpotensi menguat karena pasar masih merespons positif pembukaan ekonomi sejumlah negara di tengah mulai melandainya pandemi Covid-19.

"Ditambah dengan rencana stimulus baru dari beberapa negara seperti AS, Jepang dan Zona Euro yang akan membantu pemulihan ekonomi ke depan," ujar Ariston.

Saat ini AS masih dalam diskusi untuk menggelontorkan stimulus fiskal baru. Sedangkan Bank Sentral Eropa (ECB) akan menyediakan dana lebih dari 1 miliar Euro untuk program pembelian obligasi. Sementara itu bank sentral Jepang berencana melipatgandakan bantuan ke sektor UKM.

Menurut Ariston, rupiah masih berpotensi terus menguat dengan sentimen positif di atas. "Rencana pelaksanaan new normal juga menjadi faktor positif untuk penguatan rupiah karena ekonomi akan aktif kembali," katanya.

Aliran modal asing

Bank Indonesia (BI) hari ini juga mengungkapkan aliran modal asing masuk ke Indonesia mulai naik pada pekan pertama Juni 2020 mencapai Rp7,01 triliun. Kenaikan itu diyakini karena tingkat kepercayaan investor semakin baik terhadap ekonomi di Tanah Air.

“Kepercayaan investor termasuk asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia semakin lama semakin baik dan itu terbukti dari aliran modal asing masuk ke SBN,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Gubernur BI mengungkapkan sejak pekan kedua Mei 2020 aliran modal asing terus masuk ke Indonesia dalam instrumen surat berharga negara (SBN) mencapai Rp2,97 triliun. Kemudian, berturut-turut pada Mei yakni pekan ketiga mencapai Rp6,15 triliun, pekan keempat Rp2,5 triliun dan pada pekan pertama Juni ini mencapai Rp7,01 triliun.

Dengan adanya aliran modal asing masuk Indonesia tersebut, Perry menambahkan cadangan devisa juga dipastikan akan meningkat, dan lebih tinggi dibandingkan pada Mei 2020. Namun, ia belum membeberkan lebih lanjut berapa posisi cadangan devisa pada Mei 2020 tapi akan diumumkan pada Senin (8/6).

“Dengan nilai tukar rupiah menguat, mekanisme pasar berjalan, kebutuhan intervensi BI berkurang dan makin besar aliran modal masuk tentu saja, cadangan devisa meningkat,” katanya.

Sebagai gambaran, pada Maret 2020 posisi cadangan devisa mencapai 121 miliar dolar AS. Kemudian pada April 2020, cadangan devisa mulai meningkat mencapai 127,9 miliar dolar AS karena penerbitan surat utang pemerintah.

photo
Jadwal pembukaan kegiatan sosial ekonomi saat PSBB transisi di Jakarta - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement