REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia (AII) menyatakan tuntutan yang dilayangkan jaksa terhadap pelaku penyiraman air keras ke Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mencederai rasa keadilan. Pada Kamis (11/6) kemarin Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette selaku dua terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan dituntut 1 tahun penjara.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, terdakwa hanya dikenakan pasal penganiayaan. Padahal, akibat perbuatan terdakwa, Novel bisa saja terbunuh.
"Pelaku, yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan. Sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup," kata Usman Hamid dalam keterangannya, Jumat (12/6).
Dia menilai, insiden yang menimpa Novel bukan hanya soal teror tetapi juga menjadi masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi di Indonesia. Khususnya, dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.
Selain itu, lanjut dia, pelaku kunci kasus ini pun harus diungkap. "Kasus-kasus high-profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir, motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," tuturnya.
Dia pun membandingkan dengan tuntutan hukuman yang dialami tahanan hati nurani Papua. Untuk sesuatu yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional, mereka malah terancam hukuman hingga belasan tahun.
"Mereka tidak bersenjata, melakukan perbuatan secara damai, tapi justru dibungkam. Pelaku penyerangan Novel justru sebaliknya, bersenjata dan jelas melakukan kekerasan, namun ancaman hukumannya sangat ringan. Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk meneggakan HAM juga turut dipertanyakan," tegasnya.
Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette selaku dua orang terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan dituntut 1 tahun penjara. Jaksa menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.
Dalam tuntutan, kedua terdakwa atau para penyerang Novel tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Karena, para terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi.