REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Selandia Baru berinisiasi membagikan kebutuhan sanitasi menstruasi seperti pembalut secara gratis ke semua sekolah di negara itu. Program yang akan direalisasikan pada 2021 itu dilakukan demi menjamin kesehatan dan pendidikan anak.
Dalam sebuah pernyataan yang dibagikan di situs pemerintah, dijelaskan bahwa produk-produk sanitasi pertama akan tersedia di 15 sekolah di Waikato, sebuah wilayah di Pulau Utara bagian atas di Selandia Baru. Lalu secara bertahap, pembalut akan dibagikan di semua sekolah.
Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan, saat ini sekitar 95 ribu anak berusia 9 hingga 18 tahun terpaksa tidak pergi ke sekolah selama datang bulan. Itu terjadi lantaran mereka tidak mampu membeli pembalut dan produk kesehatan menstruasi yang memadai.
“Dengan menyediakannya secara gratis, kami mendukung orang-orang muda ini untuk terus belajar di sekolah,” kata Ardern seperti dilansir Independent, Sabtu (13/6).
Guna memastikan bantuan tepat sasaran, pemerintah juga telah mencatat sekolah-sekolah prioritas dengan tingkat sosial-ekonomi terendah di Selandia Baru. Hal itu dilakukan agar bantuan menjangkau komunitas-komunitas yang mengalami kesulitan ekonomi tertinggi.
Dia menguraikan, pemerintah memiliki visi untuk mengurangi separuh kemiskinan anak di Selandia Baru dalam kurun waktu 10 tahun. Tetapi, lantaran pandemi Covid-19 jumlah kemiskinan malah meningkat.
Menteri Perempuan Selandia Baru Julie Anne Genter berterima kasih kepada tim dibalik program ini karena berhasil mengangkat isu penting terkait sulitnya akses produk sanitasi datang bulan bagi anak perempuan yang berada di bawah garis kemiskinan.
"Menstruasi adalah siklus biologis bagi perempuan. Jadi produk sanitasi menstruasi adalah suatu keharusan, bukan kemewahan," kata Genter.
“Kami ingin semua anak Selandia Baru memiliki akses ke pendidikan yang sama, pun mereka bisa menjalani kehidupan yang baik. Saya sangat senang pemerintah telah menemukan cara untuk membantu anak-anak dan remaja," tambah dia.
Pada bulan Mei, penelitian yang dilakukan oleh badan amal anak-anak global, Plan International UK menemukan bahwa tiga dari 10 anak perempuan berjuang untuk membeli atau mengakses produk-produk menstruasi saat karantina wilayah atau lockdown.
"Lockdown telah memperburuk masalah sulitnya akses sanitasi menstruasi memadai, yang sebenarnya sudah lazim di Inggris. Ironisnya kami pun mendengar bahwa masalah ini tercermin di Kenya hingga Nepal, bahkan di seluruh dunia," kata Rose Caldwell, CEO organisasi itu.