Jumat 19 Jun 2020 20:51 WIB

Istana Enggan Tanggapi Kartu Prakerja yang Bermasalah

KPK menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan prorgam kartu prakerja.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Agus Yulianto
Fadjroel Rachman
Foto: Antara
Fadjroel Rachman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Istana enggan memberikan tanggapannya terkait temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai sejumlah masalah dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman pun menyampaikan, masalah ini sebaiknya ditanyakan ke pejabat yang berwenang.

"Problemnya sudah sangat teknis, terkait kementerian/lembaga terkait, mohon untuk Kartu Prakerja ke Ibu Denni Purbasari, Direktur Eksekutif PMO Kartu Prakerja," kata dia kepada wartawan, Jumat (19/6).

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan prorgam kartu prakerja. Namun, komisi antirasuah hanya memberikan rekomendasi kepada pelaksana kartu prakerja, tanpa mengungkap temuan delik hukum mengingat program itu telah berjalan.

KPK memaparkan sejumlah temuan sekaligus dengan rekomendasi masing-masing terkait pelaksanaan program yang memakan anggaran Rp 20 triliun tersebut. Pertama, terkait proses pendaftaran.

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan telah mendata pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan sudah dipadankan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Sebanyak 1,7 juta orang pekerja terdampak masuk 'whitelist'.

Faktanya, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar secara daring, yaitu hanya 143 ribu orang. Sedangkan, peserta yang mendaftar untuk 3 gelombang, yaitu 9,4 juta orang, bukanlah target program tersebut.

"Rekomendasi pertama, peserta yang disasar pada whitelist, tidak perlu mendaftar daring melainkan dihubungi manajemen pelaksana sebagai peserta program," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Kamis (18/6). 

Masalah kedua, manajemen pelaksana kartu prakerja menggunakan fitur face recognation untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar. KPK menilai itu sangat tidak efisien. KPK merekomendasikan agar cukup menggunakan NIK sehingga tidak perlu fitur lain yang mengakibatkan penambahan biaya.

Selanjutnya, kerja sama program prakerja dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kedelapan platform digital itu adalah Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa, dan Kementerian Tenaga Kerja.

KPK juga menemukan adanya konflik kepentingan antara lima dari delapan platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan. Kelimanya adalah Skill Akademy (Ruangguru); Pintaria (HarukaEdu), Sekolahmu, MauBelajarApa.com, dan Pijar Mahir. 

Sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan dinilai bermasalah karena lembaga pelatihan juga merupakan platform digital atau kolaborator dalam program kartu prakerja. "Dengan demikian, 250 pelatihan yang terindikasi harus dihentikan penyediaannya," tegas Alexander.

KPK menemukan, pelatihan yang memenuhi syarat hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan yang tersedia. KPK merekomendasikan agar penentuan kelayakan materi melibatkan pihak yang kompeten serta dituangkan dalam bentuk petunjuk teknis. Kemudian, materi yang teridentifikasi gratis harus dikeluarkan dari daftar pelatihan. 

Terakhir, pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif, misalnya pelatihan harus interaktif sehingga bisa menjamin peserta yang mengikuti pelatihan mengikuti keseluruhan paket.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement