REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mempertanyakan, tidak adanya ketentuan larangan TNI/Polri menggunakan hak memilih dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu tertanggal 6 Mei 2020 yang beredar di publik. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 200.
"Pengaturan bahwa TNI/Polri tidak menggunakan hak pilihnya itu tidak ditemukan di dalam RUU Pemilu yang sekarang sedang dibahas, draf versi 6 Mei," ujar Titi dalam diskusi virtual 'RUU Pemilu Mau Dibawa Kemana', Kamis (25/6).
Pasal 200 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi, "Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih."
Titi berharap, penyusun draf RUU Pemilu hanya lupa memasukkan ketentuan tersebut. Dia mendukung TNI/Polri dapat menggunakan hak pilihnya tetapi tidak untuk saat ini.
Sebab, lanjut dia, kondisi objektif baik secara politik, kultural, dan kelembagaan, infrastruktur untuk memberikan hak pilih kepada TNI/Polri belum tersedia. Titi mengatakan, kepercayaan publik terhadap pemberian hak pilih bagi anggota TNI/Polri belum sepenuhnya hadir saat ini.
"Bisa dikatakan trauma politik kita akibat dwi fungsi ABRI itu belum sepenuhnya pulih," kata Titi.
Ia juga khawatir pemberian hak politik bagi aparat TNI/Polri akan menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat. Misalnya, beberapa waktu lalu, pejabat atau pelaksana tugas gubernur, bupati, atau wali kota diisi oleh polisi aktif, kontroversinya luar biasa terjadi di publik, karena menempatkan TNI/Polri ke dalam jabatan sipil.
"Mudah-mudahan (tidak tercantum ketentuan di RUU Pemilu) karena itu tercecer begitu ya, karena kalau betul-betul tidak diatur bisa menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat kita," tutur Titi.
Diketahui, Komisi II DPR RI tengah menggodok draf RUU Pemilu. Revisi UU Pemilu masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020.