REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam satu bulan mendatang, tepatnya pada hari nahar 10 Dzulhijah dan hari tasyrik atau 11-13 Dzulhijah, Muslim akan melaksanakan kurban. Waktu yang dikhususkan itu juga telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummi Salamah menyatakan, "Rasulullah SAW bersabda: 'Barang siapa memiliki hewan kurban, hendaknya ia berkurban jika hilal 10 Dzulhijah telah terlihat jelas, janganlah dia mencukur rambut dan memotong kuku terlebih dahulu walau sedikit hingga dia selesai berkurban.'"
Namun, berbagai pertentangan terkait dilaksanakannya kurban dan penggantian kurban dengan uang pada masa pandemi Covid-19 mulai timbul karena berbagai faktor. Disebutkan dalam ash-Shihah fi al-Lughah 2/28, al-Jauhari, jika merujuk pada kata, kurban berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurban-qurbanan, dengan huruf qaf didamahkan sehingga memiliki makna 'mendekat'. Qaruba ilaihi artinya 'mendekat kepada-Nya'.
Sementara itu, secara istilah, kurban yang dilakukan dengan menyembelih hewan tertentu berdasarkan pada niat kurban (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala pada waktu tertentu. Dikutip jurnal Mulyana Abdullah berjudul Qurban: Wujud Kedekatan Seorang Hamba dengan Tuhannya, disebutkan bahwa kurban haruslah berasal dari hewan ternak seperti unta, sapi, atau kambing.
Ibadah kurban tidak boleh diganti dengan perantara lain, seperti uang atau beras. Pasalnya, berdasarkan perspektif syariat (fiqih), kurban memiliki makna ritual, yakni menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu.
Hukum tersebut juga sejalan dengan isi kitab Riyadhul Badi’ah karangan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani yang menyebutkan Kurban tidak sah kecuali dengan hewan ternak, yaitu unta, sapi, atau kerbau dan kambing. Hal ini karena kurban itu terkait dengan hewan maka dikhususkan dengan ternak sama seperti zakat, sehingga tidak sah selain dengan hewan ternak.