REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman optimistis target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia akan tercapai di 2030 jika areal gambut tidak terbakar. Dalam diskusi Ekuatorial Editor Forum, Ruandha mengatakan presentase penurunan emisi hingga 2018 sangat baik.
Sayangnya, angkanya kembali terkoreksi dengan adanya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di 2019. Menurut dia, jika areal gambut dapat dijaga sehingga tidak terbakar dan melepaskan karbon begitu besar maka target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sesuai dengan Paris Agreement untuk menurunkan emisi GRK 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional di 2030 akan tercapai.
Untuk mencegah karhutla kembali terjadi di area gambut di 2020, KLHK melakukan pencegahan dengan menganggarkan pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau lebih dikenal masyarakat dengan hujan buatan. Harapannya dengan membuat lahan gambut terendam air maka tidak terjadi karhutla lagi.
Berdasarkan data Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (ha) Per Provinsi di Indonesia dari situs SiPongi, karhutla 2019 mencapai 1.649.258 hektare (ha), sedangkan di 2017 total karhutla mencapai 165.483,92 ha.
Direktur Environment Institute Mahawan Karuniasa mengatakan dari lima sektor yang tercantum dalam NDC Indonesia, antara lain energi, limbah, industri, agrikultur, kehutanan, maka sektor kehutanan menjadi yang paling tidak stabil dalam hal penurunan emisi. Terutama jika terjadi karhutla.
Jika 2030 kondisi karhutla sama seperti di 2017, menurut dia, target NDC Indonesia akan tercapai. Namun apabila kebakaran hutan dan lahan besar terjadi seperti di 2015 dan 2019 maka target penurunan emisi GRK tidak akan tercapai.
“Jadi sektor kehutanan penentu,” ujar dia.
Mahawan justru mengatakan kemungkinan besar target penurunan emisi dari sektor energi akan tercapai di 2030. Sebab, setelah pandemi COVID-19 kondisi ekonomi akan bergerak bertahap untuk bisa ke posisi normal. Hal tersebut berkorelasi dengan konsumsi energi.
“Jadi tantangan besar ada di sektor kehutanan dan lahan,” ujar dia.