REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON — Brenton Tarrant, pelaku penembakan di dua masjid di Selandia Baru akan menghadapi persidangan terbaru tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Dia dilaporkan akan mewakili dirinya sendiri, setelah memecat tim pengacaranya.
Tarrant dinyatakan bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan aksi terorisme dalam penembakan yang dilakukan di dua masjid di Christchurch pada 15 Maret 2019. Saat itu, dia menargetkan orang-orang yang akan melaksanakan ibadah sholat Jumat.
Persidangan untuk membacakan hukuman terhadap Tarrant telah ditunda selama pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). Sidang terbaru dijadwalkan ulang dalam kasus Tarrant pada 24 Agustus mendatang di Christchurch dan diperkirakan dapat berlangsung lebih dari tiga hari.
Tim pembela Tarrant, yang terdiri atas pengacara Shane Tait dan Jonathan Hudson, mengajukan permohonan izin untuk menarik diri sebagai penasihat hukum terdakwa yang telah mereka penuhi sejak April 2019 dalam sidang pada Senin (13/7) hari ini.
Mereka mengatakan kepada pengadilan bahwa mereka telah diminta untuk mengundurkan diri dengan alasan ingin menggunakan hak untuk mewakili dirinya sendiri.
Tarrant juga ikut serta dalam persidangan yang dilakukan secara virtual, di mana dirinya berada di rumah tahanan di Auckland. Hakim dalam persidangan kali ini, Cameron Mander memutuskan menyetujui permintaan Tarrant untuk memecat pengacaranya, yang mengatakan ia telah memahami haknya untuk mendapatkan perwakilan hukum dan ingin melepaskan hak itu.
Seorang pengacara masih akan ditunjuk pengadilan untuk memberi konsultasi hukum jika Tarrant memintanya. Mander juga meminta laporan pra-hukuman dan pernyataan dari para korban dalam persidangan kali ini.
Tarrant menghadapi hukuman penjara seumur hidup, dengan hakim memiliki keleluasaan dalam memutuskan berapa tahun terdakwa harus menjalankan pelayanan yang ditetapkan selama masa tersebut, sebelum memenuhi ketentuan untuk pembebasan bersyarat.
Pascainsiden serangan yang dilakukan Tarrant yang mengejutkan di Selandia Baru, undang-undang baru yang melarang jenis senjata semi-otomatis paling mematikan dengan cepat diatur pemerintah negara itu.
Hal tersebut juga mendorong perubahan global pada protokol media sosial setelah Tarrant menunjukkan aksi kejahatannya melalui Facebook, yang sempat dilihat ratusan ribu orang di seluruh dunia.
Sidang untuk menyampaikan permohonan bersalah digelar pada Maret lalu juga mengejutkan para korban dan keluarga yang khawatir bahwa terdakwa justru akan mencoba menggunakan kesempatan itu sebagai tempat untuk mempromosikan pandangannya yang radikal.
Tarrant adalah seorang pria dari Australia yang mengaku terinspirasi gerakan sayap kanan dan supremasi kulit putih dalam melakukan serangan di dua masjid Selandia Baru tersebut.
Dia menggunakan kamera GoPro dan terlihat tak ragu-ragu menembak para jamaah yang saat itu bersiap untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat. Setidaknya 50 orang tewas akibat tindakan brutal ini.
Sumber: https://apnews.com/d1037125a85b0108e4d7ed48822657f0