REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membahas kerja sama dalam memberantas politik uang di Pilkada 2020. Selain itu, indeks kerawanan pilkada dari Bawaslu serta indeks kerawanan pemilu sebelumnya dari KPK juga ikut dibahas.
"Bagaimana kemungkinan untuk kolaborasi antara Bawaslu dan KPK untuk di masa yang akan datang terkait dengan pemberantasan-pemberantasan tindak pidana politik uang," ujar Fritz dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi Republika, Kamis (16/7).
Di samping itu juga, Fritz menyampaikan hambatan-hambatan yang dialami Bawaslu dalam penegakan tindak pidana politik uang. Menurut Fritz, KPK memberikan beberapa indeks kerawanan Pemilu 2019 yang dapat dihubungkan dengan kepala daerah yang berpotensi maju dalam Pilkada 2020.
Kemudian, ada pula kajian mengenai kasus-kasus politik uang yang terjadi di Pemilu 2019 lalu dan dihubungkan dengan kasus politik yang selama ini terjadi. Termasuk, hubungannya dengan partai-partai politik tertentu.
"Juga dugaan-dugaan dari partai politik mana, kemudian bagaimana persoalan pada saat penegakan-penegakan tindak pidananya," kata Fritz.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, tindakan politik uang akan meningkat pada Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 karena kondisi ekonomi masyarakat yang menurun. Sedangkan, penegakan hukum atas politik uang berlangsung repot dan ada kendala.
"Dalam praktik, ketika unsur pemberi dan penerima sama-sama kena hukum, penegakan hukumnya agak repot, ada kendala," ujar Abhan dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?', Kamis (2/7).
Ia mengatakan, penegakan hukum tindakan politik uang disebut repot, salah satunya karena sulit menghadirkan saksi, terutama saksi penerima. Menurut Abhan, orang tidak mau menjadi saksi atau pelapor karena akan kena ketentuan pelanggaran hukum sebagai pihak penerima.
Ia menjelaskan, Undang-Undang tentang KPK mengatur terkait justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penyidik atau jaksa penuntut umum dalam mengungkap kasus. Sedangkan, kata Abhan, hal tersebut belum pernah diterapkan selama gelaran pilkada yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Artinya bahwa biasanya yang sudah kita tuntaskan sampai proses peradilan itu karena tertangkap tangan, tapi kalau mengandalkan adanya laporan orang yang terima tentu itu ada persoalan kesulitan," kata Abhan.