REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menilai pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) perlu menerapkan pemasaran digital atau digital marketing. Pemasaran digital dinilai bisa membantu keberlangsungan bisnis UMKM selama masa pandemi Covid-19.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Global Value Chain LPEM FEB UI, Mohamad Revindo mengatakan masa pandemi adalah waktu yang tepat bagi UMKM untuk investasi di sektor digital marketing, mengingat kondisi penyebaran Covid-19 yang belum bisa dipastikan sampai kapan. Selain itu, masyarakat rumah tangga sebagai konsumen juga masih mengandalkan transaksi secara daring karena protokol kesehatan Covid-19 seperti physical distancing yang masih diberlakukan.
"Bagi UMKM, ini waktu yang tepat untuk investasi di digital marketing, pasang internet dan langsung SDM-nya dikursuskan untuk belajar digital marketing," kata Revindo dalam diskusi daring yang diselenggarakan BNPB di Jakarta, Jumat (17/7).
Untuk masyarakat rumah tangga, investasi yang diperlukan saat ini adalah internet karena kondisi belajar-mengajar kemungkinan masih akan berlangsung. Selama kasus positif Covid-19 masih tinggi, protokol pencegahan Covid-19 pun kemungkinan masih akan diberlakukan sampai akhir tahun.
Berdasarkan data LPEM FEB UI, pemasangan internet rumah atau internet kabel pada rumah tangga selalu meningkat sekitar 30-40 persen setiap bulannya, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat ada 8 juta UMKM yang kini sudah merambah ke bisnis daring (go online). Oleh karena itu, Pemerintah juga perlu melakukan perluasan akses internet, bahkan sampai ke desa-desa. Revindo menyebutkan bahwa dari 75.000 desa di Indonesia, sebesar 12.000 desa di antaranya belum mendapatkan akses internet.
"Jadi kalau mau digitalisasi BUMDes dan UMKM, 12.000 desa ini harus segera diberi akses, tentu ini tidak baik untuk bisnis online," kata dia.
Ia menambahkan pemerintah juga harus fokus dalam menarik investor asing untuk dapat mengembangkan usaha olahan makanan, pertanian, alat kesehatan dan IT. Adanya ancaman krisis pangan dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), membuat sejumlah negara akan lebih mementingkan kebutuhannya di dalam negeri, daripada melakukan ekspor komoditas pangannya.