REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Legal Culture Institute, M Rizqi Azmi menilai, putusan Majelis Hakim terhadap dua penyerang penyidik senior Novel Baswedan hanyalah basa basi semata. Dia sudah menduga sejak awal tuntutan satu tahun kepada dua terdakwa memberikan sinyal bahwa hukuman yang akan dijatuhkan hakim tidak akan jauh dari tuntutan.
"Penetapan vonis 2 tahun untuk Rahmat Kadir dan 1,5 tahun untuk Ronny Bugis oleh hakim hanya bersifat basa-basi saja di tengah gencarnya publik membedah tuntutan jaksa yang di luar nalar dan hati nurani keadilan," kata Rizqi kepada Republika, Senin (20/7).
Rizqi menilai, jaksa sudah memberikan frame dalam logika hukum publik bahwasanya actus reus atau kejadian tindak pidana dan mens rea yakni sikap kebatinan dalam kejadian ini bukan hal yang luar biasa. Karena, bila melihat konstruksi vonis tetap berpatokan kepada pasal 353 ayat 2 juncto pasal 55 ayat 1 akan sesuai arah mata angin tuntutan.
"Jadi memang tidak ada hal yang luar biasa vonis di atas tuntutan jaksa ini," ucapnya.
Selain itu, tidak ada pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim karena putusan 2 tahun masih di bawah hukuman yang dijatuhkan pasal 353 ayat 2 yaitu seharusnya maksimal 7 tahun. Majelis hakim juga tidak berani memutuskan dengan dakwaan primer yaitu pasal 355 ayat 1 yaitu penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
"Inilah kelemahan dan basa basi seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana," ujar Rizqi.
Rizqi mengatakan, sebagai bahan eksaminasi hukum, Hakim sebenarnya memercayai bahwa kasus ini adalah kasus yang berat dan perlu pendalaman seperti kasus Munir dan Marsinah. Namun, hakim terlalu menelaah secara positifis dalam kerangka dakwaan sesuai tuntutan yang mematikan nalar rechtvinding atau penemuan hukum hakim.
"Sehingga terjebak dalam dilema putusan yang berakibat absurd action dalam teori logika hukum," ucapnya.
Sebenarnya, sambungnya lagi, tindakan hakim membenarkan bahwa terjadi percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan perencanaan dengan permufakatan jahat, namun dipelintir kepada penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Lebih absurdnya lagi, hakim tidak mengambil delik penganiayaan berat dengan perencanaan.
"Padahal, hukuman beda jauh namun mengaburkan diksi kata pasal yang publik menganggapnya hampir sama," ujarnya.
Seharusnya, hakim berpikir progresif dan tidak pasif. Sehingga apapun misalkan permainan atau tricky yang dimainkan oknum JPU dan terdakwa dapat dipatahkan dengan mengejar peristiwa hukum dengan interpretasi sosiologi dan viktimologi. Karena banyak hal yang dikembangkan.
"Misalkan bukti yang dibantah Novel tidak sesuai kenyataan dan rekaman CCTV yang seharusnya di kejar. Selanjutnya saksi ahli yang banyak dihadirkan untuk mengelaborasi kejadian," terangnya.
Dalam perkara ini pun terlihat beban hakim untuk memutuskan secara adil dan menggunakan ultra petita. Tak bisa dipungkiri ada banyak tekanan di luar meja hijau yang menjadi pertimbangan para hakim. Namun selayaknya, sebagai pemutus keadilan dan pemberi kepastian hukum, hakim harus kebal dari segala intimidasi dan kukuh mempertahankan naluri dan nuraninya.
"Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakan keadilan meski langit akan runtuh) seharusnya adagium inilah yang harus di pertahankan hakim sehingga kemandirian hakim bisa teruji lepas dari segala campur tangan dan kepentingan kekuasaan," tegas Rizqi.
Rizqi menambahkan, vonis ini jiga menguatkan hasil riset Legal Culture Institute bahwa kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap penegak hukum telah mati seiring dengan putusan hakim dan keengganan jaksa untuk banding. Benteng keadilan telah roboh dan legitimasi hukum di cerabut dari akarnya dan menyisakan monumen pencitraan di konstitusi.
"Panglima itu telah dibunuh dengan sandiwara di ruang hampa pengadilan," ucap Rizqi.
Diketahui, Rahmat Kadir divonis dua tahun penjara dan Ronny Bugis divonis 1,5 tahun penjara. Keduanya terbukti turut bersama-sama melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka berat terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.