REPUBLIKA.CO.ID, Jamak diketahui publik bahwa romantisme Kiai Hasyim Asy’ari dengan sahabat karibnya Kiai Faqih Maskumambang sudah terjalin sejak remaja. Keduanya berkenalan saat sama-sama menjadi santri di Pesantren Syekh Kholil Bangkalan. Pertemanan berlanjut saat sama-sama melanjutkan rihlah ilmiah ke Haramain. Keduanya hampir belajar di kurun waktu dan memiliki guru yang sebagian besar sama.
Kedua kiai besar ini bersama para ulama lainnya dari Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, pada akhirnya bersama-sama mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926 M. Organisasi ini hadir untuk melestarikan ajaran para ulama Ahlussunnah wal Jamaah serta sebagai respons atas merebaknya pemahaman kolot kaum Wahabi serta Islam-reformis yang banyak menyesatkan dan membid’ahkan amaliah dan ibadah mereka.
Kendati demikian, perjalanan persahabatan mereka bukan berarti mulus, sama sekali tidak ada perbedaan pendapat, atau perbedaan cara pandang, dalam menyikapi suatu persoalan furu’iyyah, terutama dalam bidang fiqih. Adanya perbedaan cara pandang ini bukan malah membuat mereka saling salah menyalahkan, bercerai-berai, melainkan hal ini semakin membuat mereka berjiwa besar, saling menghormati pendapat satu sama lain, dan bahkan melarang para santrinya untuk bersikap ta’ashub atau fanatis.
Pada 1916 M, terjadi sebuah perselisihan pendapat yang berujung pada perdebatan ilmiah antara Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Faqih Maskumambang. Kedua ulama yang bersahabat karib ini menyoal hukum seputar penggunaan kentongan yang pada masa itu seringkali digunakan untuk penanda masuknya waktu sholat.
Di mana, Kiai Hasyim melarang penggunaan kentongan, sementara Kiai Faqih membolehkannya. Keduanya pun menulis risalah khusus yang membahas hal tersebut. Mula-mula, Kiai Hasyim menulis al-Jasus fi Bayani Hukm Naqus, lalu selang beberapa pekan, Kiai Faqih pun membantah argumen itu dengan risalahnya yang berjudul Hazzur Ru'us fi Radd Jasus 'an Tahrim Naqus.
Kitab al-Jasus fi Bayani Hukm Naqus sudah ditemukan KH Muhammad Ishomuddin Hadzik sejak 1992 di perpustakaan sang kakek di Pesantren Tebuireng. Kitab itu lalu ditahqiq dan diterbitkan ulang beserta kitab-kitab Kiai Hasyim Asy’ari lainnya kedalam jilid besar bertajuk Irsyadu Sary.
Sementara Hazzur Ru'us fi Radd Jasus 'an Tahrim Naqus baru diketemukan KH Abdul Aziz Masyhuri Denanyar Jombang pada kisaran 2014 lalu pada 2019 naskah itu ditahqiq Ibnu Harjo al-Jawi dan kini diterbitkan Maktabah Turmusy Turos.
Saat Kiai Hasyim Asy'ari mendengar bahwa Kiai Faqih Maskumambang menyelisihi pendapatnya, beliau mengundang para kiai dan santri senior di Tebuireng untuk berkumpul, beliau memerintahkan agar teks tulisan 'perselisihan pendapat' antara beliau dan Kiai Faqih dibacakan lalu setelah itu beliau menjelaskan bahwa kedua pendapat (boleh dan tidaknya kentongan) bisa digunakan dan diamalkan siapa saja. Tanpa saling mencela pendapat yang lain. Namun beliau meminta secara khusus agar kentongan tidak digunakan di Masjid Tebuireng.
Di sisi lain Kiai Faqih Maskumambang juga melakukan bentuk penghormatan kepada Kiai Hasyim saat mengundangnya untuk pengajian umum di Maskumambang, beliau perintahkan seluruh masjid dan mushola di sekitar Maskumambang untuk menanggalkan kentongannya saat kedatangan Kiai Hasyim Asy'ari. Sungguh sikap yang demikian ini pantas mendapat perhatian dari kita semua, dan tentunya pantas untuk kita ikuti, atau teladani, dalam kehidupan sehari-hari.