Jumat 14 Aug 2020 15:23 WIB

Normalisasi Israel-UEA, Perdamaian atau Pengkhianatan?

Kelompol Ikhwanul Muslimin Yordania menentang normalisasi tersebut.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan perjanjian damai antara Uni Emirat Arab dan Israel
Foto: EPA/Doug Mills
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan perjanjian damai antara Uni Emirat Arab dan Israel

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman al-Safadi mengatakan, kesepakatan normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel dapat berdampak pada konflik Palestina-Israel. Dalam sebuah pernyataan, al-Safadi mengatakan, kesepakatan itu akan terkait dengan tindakan yang akan diambil Israel dalam menyelesaikan konfliknya bersama Palestina.

"Jika Israel melihat kesepakatan itu sebagai insentif untuk mengakhiri pendudukan dan mengembalikan hak rakyat Palestina, maka akan muncul perdamaian yang adil. Namun, jika Israel tidak melakukan ini, konflik akan semakin dalam dan mengancam seluruh wilayah," ujar al-Safadi, dilansir Anadolu Agency, Jumat (14/8).

Baca Juga

Front Aksi Islam, yang merupakan lengan politik kelompok Ikhwanul Muslimin Yordania menggambarkan, normalisasi hubungan Israel-UEA akan berdampak pada masalah Palestina. Dalam sebuah pernyataan, mereka mengatakan, kesepakatan itu mengkhianati negara-negara yang menentang normalisasi apapun dengan Zionis.

"Sikap Palestina dan Yordania terhadap rencana aneksasi menjadi alasan yang mendorong Israel mundur dari pelaksanaannya. Beberapa rezim Arab memberi lampu hijau kepada Israel dalam melaksanakan rencana itu untuk menghilangkan masalah Palestina," ujar pernyataan Front Aksi Islam.

Front Aksi Islam mengatakan, kesepakatan normalisasi hubungan itu tidak mewakili sikap rakyat UEA yang mendukung Palestina. UEA telah mencatatkan sejarah kelam bagi negara-negara Arab. Oleh karena itu, Front Aksi Islam mendesak UEA untuk menarik kembali kesepakatan normalisasi hubungan tersebut.  

Kesepakatan normalisasi hubungan Israel-UEA tercapai setelah Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan melakukan pembicaraan via telepon. Di bawah kesepakatan tersebut, Israel setuju untuk menangguhkan rencana pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat.

Beberapa negara menyambut baik kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dan UEA. Namun kesepakatan itu telah memicu kemarahan di sebagian besar negara Muslim. Palestina telah mengecam kesepakatan normalisasi antara UEA dan Israel yang dijembatani AS. Menurutnya hal itu merupakan sebuah pengkhianatan. Palestina selama ini tak mengakui upaya mediasi dilakukan AS.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement