REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizah, Bambang Noroyono, Dian Fath Risalah
Kasus Djoko Tjandra masih jauh dari usai. Enam orang, termasuk Djoko Tjandra, memang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga menerima dan memberikan uang sebagai pelicin jalan Djoko Tjandra keluar dari lilitan kasusnya.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengatakan pengusaha Tommy Sumardi diduga memberikan uang 20 ribu dolar AS kepada mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Uang tersebut diberikan karena sebagai tanda terima kasih Tommy kepada Prasetijo yang telah membantu Tommy mengurus penghapusan red notice Djoko Tjandra.
"Dugaannya Tommy itu memberikan ucapan terima kasih kepada Prasetijo uang sejumlah 20 ribu dolar AS. Kemudian, berapa jumlah uang yang diberikan Tommy kepada NB (Napoleon Bonaparte)? Saya belum bisa memastikan jumlahnya tapi diduga lebih besar daripada yang diterima Prasetijo," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman melalui keterangan yang diterima Republika, Selasa (18/8).
Kemudian, ia menjelaskan Tommy merupakan salah satu sosok yang membantu Djoko Tjandra untuk menyuap beberapa orang yang ada di kepolisian. Awalnya, Tommy meminta kepada Prasetijo untuk dikenalkan kepada pejabat Divisi Hubungan Internasional Polri untuk mengurus penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Divisi Hubinter yang dimaksud adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional yaitu Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte (NB). Lalu, Tommy mendatangi ruangan Prasetijo untuk minta diantar ke ruangan Napoleon untuk mengurus penghapusan red notice tersebut.
"Tommy mengurus pencabutan red notice Djoko Tjandra di NCB Interpol di bawah Hubinter Mabes Polri, terdapat upaya melakukan pendekatan karena red notice itu tidak gampang dihapuskan dan juga sebenarnya bukan kewenangan NCB Interpol," kata dia.
Sementara itu, Boyamin mengatakan, Prasetijo layak menjadi justice collaborator (JC) karena selama pemeriksaan dirinya telah terbuka dan mengakui soal keterlibatan sejumlah aliran dana terpidana Djoko Tjandra. Ia menambahkan sejauh ini kepolisian telah melakukan penyidikan secara profesional untuk mengusut dugaan korupsi di internal Mabes Polri terkait dengan Djoko Tjandra.
"Sejumlah bukti dan saksi yang diajukan oleh MAKI pun kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Saya akan terus mengawal kasus ini sampai selesai dan diproses secara hukum," kata dia.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono pekan lalu saat menetapkan Napoleon sebagai tersangka mengatakan turut menyita uang. Jumlahnya 20 ribu dolar Amerika atau sekira Rp 296,5 juta sebagai barang bukti.
Entah berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh Djoko Tjandra untuk mengeluarkan dirinya dari kasus yang melilitnya. Jika MAKI menduga pengusaha Tommy atas suruhan Djoko mengeluarkan uang 20 ribu dolar untuk urusan penghapusan red notice, maka uang 500 ribu dolar AS diduga diberikan Djoko kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari yang telah berstatus tersangka.
Pinangki tidak hanya diduga menerima pemberian uang setara Rp 7 miliar, ia juga diduga menerima sejumlah fasilitas, hadiah, serta janji dari terpidana korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali 1999 tersebut.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejakgung) Hari Setiyono mengatakan, penerimaan uang tersebut ada dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) terhadap Pinangki. “Untuk sementara, diduga penerimaan uang itu seperti yang pernah disampaikan, di tahun 2019. Tetapi, pastinya nanti ada pengembangan dari penyidikan,” kata Hari di Kejakgung, Jakarta, Rabu (12/8).
Jaksa Pinangki tercatat melakukan dinas keluar negeri ilegal. Sepanjang 2019 ia sembilan kali ke Singapura dan Malaysia.
Jamwas juga meyakini, aksi Pinangki ke negeri-negeri jiran tersebut, untuk menemui Djoko Tjandra yang saat itu masih berstatus buronan Kejakgung. Tuduhan itu pula, yang membuat Jamwas mencopot Pinangki dari jabatannya selaku Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung, pada Senin (27/7).
Jamwas menyatakan aksi luar negeri Pinangki yang bertemu Djoko Tjandra itu sebagai pelanggaran berat terkait kode etik dan disiplin. Pada Rabu (12/8), Kejakgung pun resmi menyatakan Pinangki sebagai tersangka suap dan gratifikasi.
Penetapan tersebut, setelah tim penyidik di Jampidsus, melakukan penangkapan di kediaman Pinangki, Selasa (11/8) malam. “Maka tadi malam, penyidik berkesimpulan, berdasarkan bukti-bukti yang cukup, diduga terjadinya tindak pidana korupsi, sehingga ditetapkan tersangka, yaitu oknum jaksa, inisialnya PSM (Pinangki Sirna Malasari),” kata Hari melanjutkan.
Sampai saat ini sudah ada enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Irjen Pol Napoleon Bonaparte, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Jaksa Pinangki Sirna Malasari, pengacara Anita Kolopaking, kemudian Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi.
Selain menetapkan tersangka, Mabes Polri juga telah memeriksa mantan Lurah Grogol Selatan yang membantu pembuatan KTP-el Djoko Tjandra. Termasuk telah memeriksa petugas imigrasi dan anggota Polsek Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan, yang diduga membantu urusan protokoler saat Djoko tiba di sana bersama Prasetijo.
Dari pemeriksaan tersebut belum ada lagi tersangka yang ditetapkan terkait Djoko Tjandra. ICW pun mendesak investigasi yang lebih menyeluruh agar siapa saja sosok yang membantu Djoko Tjandra bisa benar-benar terungkap.
ICW mencatat beberapa hal yang penting diusut tuntas oleh Kepolisian dan Kejaksaan. "Penegak hukum mesti mendalami terkait adanya oknum yang membocorkan putusan PK atas nama Djoko Tjandra pada tahun 2009 yang lalu, " kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Sabtu (15/8).
Diduga keras pelarian Djoko Tjandra diakibatkan dari bocornya putusan tersebut. Jika ditemukan maka penegak hukum dapat mengenakan pelaku dengan sangkaan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum.
Catatan kedua, yang harus diusut tuntas yakni Kejaksaan yang penting untuk dikritisi. ICW meminta Kejaksaan Agung mencari tahu apakah uang yang diterima Pinangki dinikmati pribadi atau secara kolektif.
"Siapa pemberi suapnya? Sebab tidak mungkin dalam sebuah perbuatan koruptif hanya dilakukan oleh satu orang. Lalu dana yang diterima oleh Pinangki, apakah dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi Kejaksaan yang juga turut menerima bagian," tutur Kurnia.
Kemudian, apakah Jaksa Pinangki memiliki relasi dengan oknum di Mahkamah Agung sehingga bisa menjanjikan memberikan bantuan berupa fatwa kepada Djoko Tjandra. "Jika iya, maka Kejaksaan juga harus mengusut hal tersebut, " ucap Kurnia.
Selain itu, Kejaksaan juga harus mengusut apakah ada oknum petinggi Kejaksaan yang selama ini bekerjasama dengan Pinangki dan sebenarnya mengetahui sepak terjang dari yang bersangkutan namun tidak melakukan tindakan apapun. Tak hanya itu, Kejaksaan harus memastikan bahwa penanganan perkara di internal Korps Adhyaksa tersebut dilakukan secara profesional, independen, dan objektif.
"Untuk itu, Kejaksaan penting untuk terus menerus memberitahukan kepada publik terkait perkembangan penyidikan Jaksa Pinangki, " tegas Kurnia.
Catatan yang harus dituntaskan selanjutnya ihwal penghapusan red notice dan surat jalan palsu. Dalam hal ini, Kepolisian harus mengembangkan perkara ini, khususnya pada kemungkinan masih adanya oknum perwira tinggi Polri lain yang diduga secara bersama-sama dengan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte turut memuluskan pelarian Djoko Tjandra.
Kepolisian juga mesti memeriksa apakah ada oknum atau petinggi Imigrasi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Sebab, data red notice Djoko Tjandra di Imigrasi diketahui sempat dihapus.
"Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa Dirjen Imigrasi, Jhony Ginting, sebelumnya adalah seorang Jaksa, tentu yang bersangkutan mestinya mengetahui bahwa Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan yang belum tertangkap," tegas Kurnia.