Selasa 25 Aug 2020 09:46 WIB

Banpres Produktif UMKM yang Dinilai tidak Tepat Sasaran

UMKM membutuhkan bantuan komprehensif lebih dari bantuan modal.

Perajin mengecek kualitas gitar yang telah dibuat di sentra produksi dan perbaikan gitar rumahan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (21/8/2020). Presiden Joko Widodo menyatakan akan membagikan Bantuan Presiden (Banpres) produktif atau bantuan modal kerja darurat mulai pekan depan sebesar Rp2,4 juta per pengusaha dengan tahap awal diberikan kepada 9,1 juta pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Perajin mengecek kualitas gitar yang telah dibuat di sentra produksi dan perbaikan gitar rumahan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (21/8/2020). Presiden Joko Widodo menyatakan akan membagikan Bantuan Presiden (Banpres) produktif atau bantuan modal kerja darurat mulai pekan depan sebesar Rp2,4 juta per pengusaha dengan tahap awal diberikan kepada 9,1 juta pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Iit Septyaningsih, Sapto Andika Candra

Program bantuan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk UMKM dan koperasi dalam bentuk Bantuan Presiden (Banpres) produktif dinilai tidak tepat sasaran. Seperti telah dijanjikan pemerintah, dari 63 juta UMKM 12 juta di antaranya akan diberikan bantuan langsung tunai sebesar Rp 2,4 juta di luar dana yang diatasnamakan UMKM di bank sebesar Rp 124 triliun.

Baca Juga

Menurut Asosiasi Kader Sosio-ekonomi Strategis (AKSES), dalam praktiknya, sampai saat ini ternyata realisasinya belum juga turun sampai ke UMKM. "Semua mandeg dan termasuk dana penempatan yang ada di bank untuk program pemulihan UMKM  ternyata hanya perbesar jumlah (amount) bukan perbanyak akun (account)," ujar Ketua AKSES, Suroto, dalam siaran pers, Selasa (25/8).

Kementerian koperasi dan UKM, kata Suroto, juga terlihat tidak berfungsi. Kerjanya dinilai sangat lamban dan ini mengakibatkan dampak pelambatan ekonomi makin serius.

Menurut Suroto, apabila sulit dalam hal administrasi, sebut saja kalau jumlah UMKM itu 64 juta, berarti hampir sama dengan jumlah kepala keluarga. Ia menyarankan menggunakan data kepala keluarga yang jumlahnya sama dengan jumlah usaha mikro. Kemudian, kalau data yang bersangkutan bukan usaha mikro, dapat dikompensasikan ke pajak mereka.

"Kami menengarai pemerintah selama ini memang tidak serius menyasar persoalan rakyat kecil. Giliran untuk usaha besar mereka sangat cepat dan bahkan regulasi dan kebijakan begitu fleksibel sekali mereka rombak," kritiknya.

Skema dana PEN yang jumlahnya sekarang sudah hampir Rp 1.000 triliun itu dinilai hanya diperuntukkan untuk kepentingan korporat besar. Ini dinilai menjadi masalah serius, sebab masyarakat kecil dan terutama UMKM itu sekarang benar-benar hampir mati semua karena tabungan mereka sudah habis.

Suroto menilai, Program PEN yang ada saat ini secara regulasi dari sejak Perppu No. 1/2020 sampai dengan PP 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional sudah tidak menunjukkan komitmen untuk menyasar rakyat kecil. Semua terlihat hanya untuk menyelamatkan kepentingan segelintir orang pemilik korporat besar.

"Dari skema dana penempatan, modal penyertaan, maupun dana subsidi dan restrukturisasi untuk UMKM sebetulnya hanya untuk pengusaha besar,"katanya.

Sampai hari ini, dana bantuan Rp 2,4 juta yang ditargetkan untuk 1 juta usaha mikro yang dijanjikan cair tanggal 17 Agustus ternyata masih ditahan. Selain itu, AKSES juga mengkritik Kemenkop dan UKM yang harusnya membela kepentingan koperasi, namun tidak percaya pada koperasi. Koperasi mundur untuk menerima uang bantuan untuk UMKM karena disyaratkan lewat bank. Menurut Suroto, mereka tidak terima karena ditengarai akan dijadikan sebagai basis penyerobotan data koperasi oleh bank.

Dengan demikian, ini menunjukkan Pemerintah sepertinya lebih percaya pada bank swasta. "Artinya sebetulnya pemerintah termasuk Kemenkop dan UKM itu tidak percaya  kelembagaan koperasi milik rakyat sendiri. Ini sebuah catatan serius," katanya.

Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memandang Banpres produktif bisa berdampak positif namun tidak signifikan. Maka dalam pelaksanaannya, perlu ada pengawasan.

"Ada kepastian tidak pas bantuan sampai ke penerima, digunakan untuk produktif. Bagaimana kalau dibelanjakan yang lain, nanti pengawasannya bagaimana?" ujar Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, Senin (24/8).

Menurutnya, teknis penyaluran bantuan di lapangan harus diperjelas. Sehingga bisa tepat sasaran.

Sebenarnya, lanjut Ahmad, bantuan produktif itu hanya mengatasi salah satu masalah UMKM. Pemerintah, kata dia, juga harus membantu UMKM dalam berbagai hal, baik fiskal maupun nonfiskal.

"Kalau sekadar bantuan modal usaha begitu, berat untuk mengharapkan hasil muluk-muluk. Program itu memang membantu, membuat mereka (pelaku mikro) merasakan terbantu, tapi kalau berharap UMKM pulih lagi atau produktif lagi sepertinya berat," ujar dia.

Sebab, tutur Ahmad, UMKM perlu bantuan secara komprehensif. Misalnya mempermudah akses pasar melalui digital platform, memudahkan akses bahan baku UMKM, serta lainnya.

Pemerintah, sambungnya, juga harus bisa menjembatani perusahaan besar dengan pelaku usaha kecil agar menjalin kemitraan. "Misal UMKM pasok bahan baku ke perusahaan besar. Lalu perusahaan besar jual produknya ke pasar lebih luas, pola kemitraan seperti ini harus dikembangkan," jelas Ahmad.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki, mengatakan target total Banpres Produktif yakni 12 juta penerima manfaat, dan sudah mulai disalurkan sejak 17 Agustus 2020 lalu. “Bantuan ini diberikan kepada pelaku usaha mikro yang belum memiliki kredit, namun memiliki usaha,” jelas Teten. Ia menyebutkan, target penyaluran tahap pertama yaitu ke 9,1 juta penerima manfaat, dengan total anggaran Rp 22 triliun.

Pada tahap awal, kata dia, Banpres Produktif telah disalurkan kepada sebanyak satu juta penerima manfaat, melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI). Rinciannya, BRI telah menyalurkan Banpres Produktif kepada 683.528 penerima manfaat, dengan total penyaluran Rp 1,64 triliun, lalu BNI telah menyalurkan kepada 316.472 penerima manfaat dengan total penyaluran Rp 760 miliar.

Hingga 19 Agustus 2020, Banpres Produktif telah disalurkan di 34 provinsi, untuk 1 juta penerima manfaat pada tahap awal. Total yang telah tersalurkan mencapai Rp 2,4 triliun.

Presiden Joko Widodo kemarin mengatakan Banpres produktif adalah hibah, bukan pinjaman. "Bukan kredit tapi hibah," ujar Presiden Jokowi dalam sambutan penyerahan Banpres produktif di Istana Negara, Senin (24/8).  

Bantuan ini, ujar Presiden, bisa digunakan sebagai tambahan modal kerja bagi pelaku UMKM. Seperti diketahui, pelaku UMKM merupakan salah satu pihak yang paling terdampak pandemi Covid-19. Padahal porsi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional cukup tinggi yakni sekitar 60 persen.

Sebelum hibah untuk UMKM, sudah ada bantuan likuiditas restrukturisasi kredit UMKM dengan pagu anggaran Rp 78 triliun. Realisasinya, total anggaran Rp 30 triliun sudah disalurkan kepada bank-bank pemerintah dan telah merestrukturisasi kredit atas 620 pelaku UMKM. Volume kredit yang diresktrukturisasi sebesar Rp 35 triliun.

Selain itu ada juga kebijakan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran Rp 35 triliun. Namun khusus untuk program ini realisasinya masih kecil yakni Rp 1,3 triliun. Hanya saja, angka realisasi tersebut telah sanggup membantu 13 juta UMKM dengan outstanding pinjaman Rp 204 triliun.

Sisa pagu itulah yang akhirnya dialihkan ke program produktif lainnya, seperti hibah kepada UMKM ini. Mekanisme penyaluran hibah ini nantinya akan dilakukan secara langsung ke masing-masing rekening pelaku UMKM.

photo
stimulus untuk UMKM - (Tim infografis Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement