Senin 31 Aug 2020 15:50 WIB

 ICW Sebut "PK" Akal-akalan Koruptor

Tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK, mesti menjadi perhatian khusus Ketua MA.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (kanan).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta kepada Mahkamah Agung (MA) menolak 20 permohonan Peninjauan Kembali  (PK) yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi. Pasalnya, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum. 

 

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan MA tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi. Itu terlihat dari rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi. 

"Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata Kurnia pesan singkatnya, Senin (31/8). 

Dalam konteks ini, lanjut Kurnia, Ketua MA mesti selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK. Semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan. 

"Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak hakim agung, ini penting, agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan, " tutur Kurnia. 

ICW berharap, tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK ini mesti menjadi perhatian khusus bagi Ketua MA. Sebab, berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 lalu sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK. 

Terbaru, MA baru saja mengabulkan PK mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip. Hukuman Sri Wahyumi disunat dari 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 2 tahun penjara. 

"Kabul permohonan PK Pemohon, batal putusan judex facti, kemudian MA mengadili kembali : menyatakan Pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UUPTPK. Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp  200 juta /subsider 6 bulan kurungan, " kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi Republika, Senin (31/8). 

Putusan tersebut diketok oleh ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan M Askin. Putusan itu diketok pada  Selasa (25/8). Suhadi sehari-hari adalah Ketua Muda MA bidang Pidana.

Di sisi lain, MA justru menolak PK yang diajukan perantara suap Sri Wahyumi, Benhur Lelonoh. Ia dihukum lebih berat, yaitu 4 tahun penjara dan dinyatakan terbukti menjadi perantara suap Sri Wahyumi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement