REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik JAM Pidsus) Kejaksan Agung (Kejakgung) Febrie Adriansyah mengonfirmasi beberapa inisial yang disebut-sebut ikut membantu tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari mengurus fatwa untuk terpidana Djoko Tjandra di Mahkamah Agung (MA). Febrie mengatakan, ada penelusuran informasi yang dilakukan para penyidiknya terkait inisial DK.
DK, menurut Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), satu di antara lima inisial yang diduga terkait dengan upaya tersangka Pinangki, bersama tersangka Anita Dewi Kolopaking, membantu Djoko Tjandra mendapatkan fatwa bebas dari MA atas putusan MA 2009. Empat inisial lainnya, yakni T, BR, HA, dan SHD.
Ada dugaan inisial-inisial tersebut, diduga dari kalangan pemutus perkara di pengadilan atau mahkamah. “Yang lain (T, BR, HA, dan SHD), belum ada. Baru DK, yang sedang kita cari,” ujar Febrie saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, pada Jumat (11/9).
Namun Febrie, masih irit lidah tentang proses penelusuran di penyidikannya terkait inisial DK tersebut. “Justeru kita sedang cari dia. (Tetapi) belum dapat,” ujar Febrie menambahkan.
Ditanya apakah DK, dan inisial lain tersebut ada kaitannya dengan dugaan komunikasi tersangka Pinangki, dengan salah satu ketua kamar hukum di MA untuk pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra, Febrie pun belum berani berspekulasi. “Belum ada fakta itu,” kata Febrie.
Jaksa Pinangki, ditetapkan sebagai tersangka terkait pemberian suap, dan gratifikasi sebagai imbalan mengurus fatwa bebas MA untuk terpidana Djoko Tjandra. Uang panjar yang diberikan Djoko Tjandra untuk misi bebas tersebut, diterima Pinangki, sebesar 500 ribu dolar AS, atau setara Rp 7,5 miliar. Pemberian uang haram tersebut, dilakukan lewat perantara politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya yang juga sudah ditetapkan tersangka.
Terkait fatwa tersebut, sebetulnya menyangkut vonis MA 2009. Waktu itu, MA menghukum Djoko Tjandra dua tahun penjara terkait kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999. Namun Kejaksaan tak dapat mengeksekusi putusan MA 2009, lantaran Djoko Tjandra berhasil kabur ke luar negeri. Pada November 2019, seorang pengusaha Rahmat, dikatakan memperkenalkan Pinangki kepada Djoko Tjandra.
Perkenalan tersebut, menghasilkan permufakatan jahat untuk membebaskan Djoko Tjandra dari vonis MA 2009, lewat pengurusan fatwa bebas di MA. Periode Mei-Juni 2020, Djoko Tjandra terdeteksi berada di Indonesia untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas vonis MA 2009. Djoko Tjandra menggandeng pengacara Anita Kolopaking, yang dikenalkan oleh Pinangki. PK di PN Jakarta Selatan (Jaksel), berakhir dengan penolakan hakim untuk meneruskan berkas ke MA.
Terkait dengan fatwa MA dalam skandal Djoko ini, Ketua Muda MA Bidang Pengawasan, Andi Samsan Nganro menegaskan, institusinya tak pernah tahu adanya pengajuan fatwa hukum yang terkait pembebasan terpidana korupsi hak tagih Bank Bali 1999 tersebut.
“Kami (MA) baru tahu dari berita di media,” kata Andi lewat pesan singkatnya kepada Republika.
Andi meminta agar pihak manapun yang menuding adanya peran para hakim, maupun pejabat MA dalam upaya penerbitan fatwa hukum Djoko, agar memastikan kebenaran tudingan tersebut. “Pastikan dulu, apakah memang pihak Djoko Tjandra, sudah (pernah) mengajukannya (fatwa MA),” kata Andi.
Adapun peran tersangka Pinangki yang dikatakan melakukan upaya fatwa MA untuk terpidana Djoko, Andi menegaskan tak mau berspekulasi. Sebab kata Andi, tak ada dalam basis catatan MA, tentang adanya permohonan, maupun permintaan dari pihak manapun, terkait dengan fatwa hukum bebas Djoko Tjandra. “Kami belum tahu urusan permohonan fatwa hukum ke MA terkait terpidana Djoko S. Tjandra itu. Untuk itu kami tidak perlu menanggapi (dugaan) itu,” sambung Andi.