REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch mempertanyakan kualitas penegakan kode etik dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu terkait putusan Dewan Pengawas KPK yang menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK, Firli Bahuri.
Seperti diketahui Dewan Pengawas KPK mendapat aduan mengenai Firli yang dinilai telah melanggar kode etik terkait bergaya hidup mewah. Kejadian yang dimaksud adalah saat Firli menggunakan helikopter milik perusahaan swasta dalam perjalanan dari Palembang ke Baturaja.
Peneliti dari Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana, menyampaikan lima catatan atas putusan Dewan Pengawas yang menjatuhkan sanksi ringan. Pertama, alasan Dewan Pengawas yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran telah dilakukan sangat tidak masuk akal.
"Mengingat, secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi helikopter semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK," ujar Kurnia lewat pernyataan resminya.
Sebagai Ketua KPK, semestinya Firli menerapkan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Aksinya dianggap berseberangan dengan nilai integritas yang kerap dikampanyekan KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.
Kedua, Dewan Pengawas tidak menimbang pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. Pada 2018, ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Berdasarkan laporan itu, pada September 2019 KPK mengumumkan bahwa Firli terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhi sanksi pelanggaran berat. Sementara di putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.
Catatan ketiga dari ICW, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi. Dewan Pengawas dinilai tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif.
Keempat, putusan Dewan Pengawas (Dewas) yang sudah diumumkan, akan sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
Menyoroti ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan. Penerima sanksi hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sementara, catatan yang kelima ialah lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus Firli, semesti Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.
Dalam putusan atas Firli, Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas berhenti pada pembuktian pelanggaran etika.
Kurnia menyampaikan, ICW sejak awal menilai bahwa eksistensi Dewan Pengawas tidak pada kelembagaan KPK. Mengingat, fungsi pengawasan KPK secara sistem telah berjalan dengan baik dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Maka dari itu, ICW bersama koalisi masyarakat sipil lain mengajukan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Dengan harapan, agar Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuan regulasi tersebut sekaligus membubarkan Dewan Pengawas.
Terlepas dari kekecewaan ICW terhadap putusan sanksi ringan, ICW tetap menilai bahwa pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli sudah lebih dari cukup untuk dirinya mengundurkan diri. ICW menyoroti Pasal 29 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Dalam pasal itu, disebutkan bahwa untuk menjadi Pimpinan KPK harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Beberapa di antaranya adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Menurut ICW, Firli tidak lagi memenuhi poin-poin tersebut, sebab telah dua kali terbukti melanggar kode etik KPK. Pertimbangan kedua yang disebutkan ICW tertuang pada TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. "Penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara," kata Kurnia.