REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo berencana mengeluarkan peraturan presiden (perpres) sebagai dasar hukum pengadaan dan pemberian vaksin Covid-19 sebagaimana disampaikan Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto. Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai hal ini upaya yang positif.
“Paling tidak, regulasi ini menunjukkan adanya kepastian hukum terkait seluk-beluk pengadaan vaksin Covid-19 dan pelaksanaan vaksinasinya,” kata Anis melalui pesan yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/9).
Terkait dengan kebutuhan anggaran, kata Anis, sebagaimana dijelaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, perhitungan total kebutuhan vaksin senilai Rp 37 triliun untuk 2020-2022 dengan estimasi uang muka Rp 3,8 triliun pada 2020 dan pada RAPBN 2021 telah dialokasikan Rp 18 triliun. Anis mengatakan, penggunaannya perlu diwasi dan dikawal penggunaan anggaran negara ini sesuai dengan peruntukannya.
Pada Agustus 2020 Menteri Keuangan pernah mengatakan anggaran untuk pengadaan vaksin Covid-19 sudah dialokasikan, yaitu diambil dari program PEN khususnya klaster kesehatan yang penyerapannya masih lambat. Perkiraan anggaran sebesar Rp 23,3 triliun diusulkan utk pemanfaatan program kesehatan, salah satunya dialokasikan untuk pengadaan vaksin Covid-19.
Anis mengingatkan serapan dana PEN yang masih rendah. “Saya mendorong Pemerintah bekerja lebih sigap dalam melakukan belanja negara,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, realisasi anggaran PEN, per 17 September 2020 sebesar Rp 254,4 triliun, atau 36,6 persen terhadap pagu anggaran PEN yang sebesar Rp 605,2 triliun. Jika dilihat per kelompok program, realisasinya adalah kesehatan (Rp 18,45 triliun atau 33,47 persen), perlindungan sosial (Rp 134,4 triliun atau 57,49 persen), sektoral K/L atau pemda (Rp 20,53 triliun atau 49,26 persen), insentif usaha (Rp 22,23 triliun atau 18,43 persen), dan dukungan UMKM (Rp 58,74 triliun atau 41,34 persen). Program pembiayaan korporasi bahkan sama sekali belum terealisasi dari anggaran Rp 53,57 triliun.
“Serapan dana yang masih rendah ini saya kira menjadi catatan buruk bagi pemerintah,” ujarnya.
Menurut Anis , jika pertumbuhan realisasi hanya 20 persen per bulan hingga akhir tahun, maka realisasi serapan dana PEN hanya akan mencapai 50-60 persen. Sedangkan jika sekarang baru ada 1 program saja yang mencapai 50 persen, maka sampai akhir tahun diperkirakan maksimal hanya 50 persen serapan anggaran yang sudah disediakan.
Artinya, akan ada dana lebih dari Rp 300 triliun yang tidak terserap untuk penanganan Covid-19. “Rendahnya serapan anggaran ini menyebabkan tujuan utama Program PEN belum terasa dan belum dinikmati rakyat,” katanya.