REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian Dr Edi Saputra Hasibuan mengatakan unjuk rasa anarkis oleh massa yang menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta dan berbagai kota lainnya di Indonesia tidak bisa dibiarkan. Karena hal itu telah melanggar hukum.
"Kami mendukung langkah Polri memproses pelaku penjarahan, perusakan dan menyerukan ujaran kebencian dalam aksi demonstrasi UU Cipta Kerja yang berbuntut rusuh di berbagai daerah," kata Edi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/10).
Menurut dia, setiap warga sesuai undang-undang memiliki hak untuk menyampaikan mendapat. Namun jika hak itu disertai tindakan anarkis tentu tindakannya itu tidak bisa dibiarkan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) ini mengatakan semua pihak mendukung penegakan hukum yang tegas terhadap setiap orang yang melanggar hukum. Menurut mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini, apapun alasannya, yang namanya perusakan, penjarahan, dan pelanggaran hukum lainnya tidak bisa dibiarkan.
"Negara ini adalah negara hukum jadi tidak boleh kalah dengan para pelanggar hukum," kata pengajar Universitas Bhayangkara Jakarta ini.
Pada Kamis (8/10), aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja terjadi di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia. Sebagian aksi unjuk rasa berakhir anarkis.
Polda Metro Jaya telah menetapkan 54 orang sebagai tersangka unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berakhir bentrokan dengan kepolisian dan perusakan berbagai fasilitas umum. Kepolisian di Jakarta menahan 28 tersangka, dan sisanya tidak ditahan karena berusia anak-anak.
Sementara itu, Polda Sumut menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus unjuk rasa yang berakhir dengan bentrokan dan pengrusakan fasilitas umum serta kendaraan. Mabes Polri juga menangkap eberapa petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) karena diduga terkait dengan berbagai aksi unjuk rasa anarkis itu. Antara lain Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Kingkin Anida.