REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Armenia dan Azerbaijan mengatakan telah menyetujui untuk gencatan senjata kemanusiaan baru dalam konflik Nagorno-Karabakh mulai tengah malam pada Sabtu (17/10). Sebelumnya kedua negara itu pernah menyatakan hal sama saat Rusia menjadi penengah penyelesaian masalah pada 10 Oktober.
Kedua negara mengumumkan gencatan senjata dalam pernyataan yang identik. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov telah berbicara dengan mitranya dari Armenia dan Azerbaijan melalui telepon pada Sabtu. Moskow menekankan bahwa gencatan senjata yang dimediasi sepekan yang lalu harus diperhatikan.
Kementerian Luar Negeri Nagorno-Karabakh mengeluarkan pernyataan yang mengatakan siap mempertahankan gencata senjata. "Menegaskan kembali kesiapannya untuk mempertahankan persyaratan gencatan senjata kemanusiaan secara timbal balik ...," ujarnya merujuk pada pernyataan Moskow pada 10 Oktober dan kesepakatan 17 Oktober.
Armenia berbicara kepada Azerbaijan atas nama Nagorno-Karabakh karena Baku menolak untuk bernegosiasi dengan otoritas wilayah itu. Yerevan mengatakan pasukannya tidak terlibat dalam konflik dan belum menyerang Azerbaijan. Banyak warga Armenia, termasuk putra perdana menteri, menjadi sukarelawan di pasukan Nagorno-Karabakh.
Gencatan senjata pertama gagal akibat kedua belah pihak saling menuduh melakukan serangan baru di Kaukasus Selatan sejak 1990-an. Baku mengatakan 13 warga sipil tewas dan lebih dari 50 lainnya cedera di kota Ganja oleh rudal dari Nagorno-Karabakh. Yerevan menuduh Azerbaijan menembaki daerah-daerah yang berpenduduk di kantong dan mengebom sasaran di Armenia.
Pertempuran itu adalah yang terburuk di wilayah tersebut sejak Azerbaijan dan pasukan etnis Armenia berperang pada 1990-an di Nagorno-Karabakh. Wilayah itu secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi dihuni dan diperintah oleh etnis Armenia.