REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar paruh awal abad ketiga hijriyah, tasawuf sudah mulai menampakkan sosoknya sebagai sebuah ilmu. Hingga sampai saat ini, tasawuf sudah benar-benar mapan sebagai paradigma.
Namun, proses yang dlalui tasawuf untuk menjadi sebuah ilmu tidak mudah. Dia dituduh sesat, bid’ah, dan kafir, sehingga dalam sejarahnya tasawuf kadang hilang karena derasnya arus penolakan. Namun, tidak jarang dia terlahir kembali dengan kekuatan yang lebih besar.
Tasawuf sebagai ilmu mencapai kemapanannya terjadi di tangan Imam al-Ghazali. Abdul Kadir Riyadi dalam “Arkeologi Tasawuf” menjelaskan, al-Ghazali berhasil menciptakan sayap bagi ilmu ini sehingga mampu terbang lebih tinggi. Sayapanya ada dua, yaitu fikih dan filsafat. Bodi dan raganya adalah tarekat, matanya wahyu, telinganya logika, sedangkan kakinya adalah syariat.
Selain itu, al-Ghazali juga dinilai mampu meyadarkan para sufi akan pentingnya tarekat sebagai penyangga paling penting bagi tasawuf. Tasawuf tanpa tarekat adalah ibarat jiwa tanpa badan. Menurut Abdul Kadir, al-Ghazali telah menegaskan bahwa nutrisi tasawuf hanya didapat melalui tarekat. Karena itu, mendirikan tarekat adalah jalan paling strategis untuk membesarkan dan merawat ilmu ini.
Ajakan ini disambut oleh para sufi, termasuk Hasan al-Syadzili, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abu Najid Suhrawardi. Mereka kemuian segera mendirikan tarekat. Setelah 50 tahun sejak wafatnya al-Ghazali, tarekat sudah berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam.
Sayangnya, dalam perkembangnya tasawuf kemudian lebih sering diidentikkan dengan tarekat, sehingga nuansa ilmiahnya cenderung hilang. Padahal, tasawuf dan tarekat itu berbeda walau menyatu.