REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China kembali menegaskan tidak berminat terlibat dalam kesepakatan kontrol senjata trilateral dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Kendati demikian, Beijing mendukung perpanjangan perjanjian kontrol senjata antara Washington dan Moskow.
"Ini adalah posisi kami yang jelas dan konsisten bahwa China tidak berniat untuk mengambil bagian dalam negosiasi kontrol senjata trilateral dengan AS dan Rusia. Posisi ini juga dipahami secara luas dan didukung oleh komunitas internasional, termasuk Rusia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Zhao Lijian pada Jumat (23/10), dikutip laman resmi Kemlu China.
Dia pun menyinggung tentang perjanjian New Strategic Arms Reduction Treaty (START). Perjanjian itu ditandatangani pada 2010 dan akan berakhir pada Februari 2021. New START melarang Washington dan Moskow mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya.
"Tugas mendesak bagi AS adalah berhenti menyalahkan pihak lain, dengan sungguh-sungguh menanggapi seruan Rusia untuk memperpanjang New START, mewujudkan perpanjangannya yang mulus, dan atas dasar itu secara drastis mengurangi persenjataan nuklirnya untuk menciptakan kondisi bagi negara-negara bersenjata nuklir lainnya untuk bergabung dalam pembicaraan perlucutan senjata nuklir multilateral," kata Zhao.
Dia menekankan penolakan untuk bergabung dalam pembicaraan trilateral bukan berarti China menolak menjadi bagian dari upaya perlucutan senjata nuklir internasional. "China akan membahas berbagai tujuan mengenai stabilitas strategis dan perlucutan senjata nuklir dalam mekanisme lima negara senjata nuklir dan Konferensi Perlucutan Senjata," ujarnya.
Presiden AS Donald Trump berulang kali menyerukan agar China dilibatkan dalam perjanjian kontrol senjata nuklir. Namun Beijing selalu menolak seruan tersebut. Alasannya, kapasitas nuklir AS, juga Rusia, masih jauh melebihi China. Beijing sempat menyatakan siap terlibat dalam perjanjian nuklir. Namun AS, termasuk Rusia, harus terlebih dulu mengurangi kapasitas atau jumlah senjata nuklirnya.