REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak enam lembaga kini sama-sama tengah mengembangkan vaksin virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Diantara enam institusi ini, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dinilai jadi lembaga yang paling cepat mengembangkan vaksin yaitu Merah Putih dan siap-siap diujikan pada hewan di bulan ini.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengidentifikasi ada enam institusi yang sedang mengembangkan vaksin Covid-19. Keenam institusi ini adalah LBM Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Airlangga.
"Ini luar biasa karena menunjukkan kepedulian para peneliti, dosen untuk mencari solusi Covid-19 dan menariknya enam institusi ini menggunakan platfotm yang berbeda-beda," ujarnya saat mengisi konferensi virtual BNPB bertema Update Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN): Prinsip Keamanan Vaksin Covid-19, Selasa (27/10).
Ia menambahkan, patform yang berbeda ini otomatis membuat muncul enam versi vaksin dan bukan hal yang aneh. Ia menyebutkan, kebanyakan vaksin yang ada di dunia saat ini dikembangkan dengan inactivated virus, protein rekombinan, hingga DNA/RNA. Meski enam lembaga ini bekerja dengan platform yang tak sama, dia menambahkan, pada intinya sama tujuannya yaitu menjadi vaksin Covid-19.
"Kemudian kami akan fasilitasi produksinya. Kami identifikasi kemungkinan yang paling cepat dilakukan LBM Eijkman yang mengembangkan vaksin Covid-19 dengan menggunakan platform subunit protein rekombinan," ujarnya.
Ia menambahkan, vaksin Merah Putih menggunakan isolat virus yang memang bertransmisi di Indonesia. Kemudian, dia menambahkan, pengembangan bibit vaksinnya dikerjakan oleh ahli-ahli Indonesia.
Bahkan di Oktober ini, dia menambahkan, Eijkman sedang menyiapkan uji di hewan. Hasilnya bisa diketahui di akhir tahun ini. Bibit vaksin yang sudah dianggap teruji pada hewan atau sel mamalia tersebut ini akan diserahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Penghasil Vaksin Bio Farma sebagai pihak yang nantinya akan melakukan produksi skala kecil terutama untuk keperluan uji klinis.
"Kami akan ikuti semua prosedurnya tahap 1,2, dan 3 dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan memutuskan apakah vaksin bisa diproduksi secara massal," katanya.
Pihaknya mengakui pentingnya kemandirian vaksin karena Indonesia adalah negara besar dengan populasi 270 juta jiwa. Sehingga, dia melanjutkan, sangat riskan kalau Indonesia terlalu bergantung pada vaksin yang didatangkan dari luar negeri.
"Sehingga Indonesia harus punya kemampuan, tidak hanya di produksi, melainkan juga tahap penelitian dan pengembangannya," ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya menyadari pengembangan vaksin Covid-19 menghadapi tantangan yaitu target waktu penemuan vaksin yang relatif pendek. Ia mengungkap, biasanya riset terkait vaksin itu memakan waktu yang sangat lama, bahkan ada beberapa penyakit seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), Ebola, maupun Zika yang sampai hari ini belum ada vaksinnya.
Selain itu, pihaknya menghadapi tantangan bahan-bahan yang harus diimpor contohnya sel mamalia, termasuk reagen. "Kadang proses impor termasuk reagen yang kadang bisa menunda aktivitas penelitian," ujarnya.