REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hilangnya Pasal 6 ayat (1) a dari dakwaan tersangka Andi Irfan Jaya dalam skandal fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, dituding untuk menyetop pengungkapan para terlibat lainnya dalam pengungkapan kasus tersebut. Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menduga, tak diterapkannya sangkaan suap-gratifikasi hakim untuk kader Nasdem tersebut, upaya Kejaksaan Agung (Kejakgung) agar kasus yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari itu, tak melebar kemana-mana.
“Ini (hilangnya Pasal 6) memang tampaknya untuk melokalisir kasus ini, supaya tidak merebak kemana-mana,” kata Kordinator MAKI Boyamin Saiman, Kamis (29/10).
Menurut Boyamin, masyarakat, dan pemerhati masalah korupsi patut curiga, hilangnya sangkaan suap-gratifikasi untuk hakim tersebut, untuk menutupi petinggi di Kejakgung, pun di MA yang diduga terseret kasus tersebut.
“Kita patut curiga, itu (hilangnya Pasal 6) untuk ada yang dilindungi,” terang Boyamin.
Boyamin, tak menguatkan kecurigaannya itu dengan menyampaikan sejumlah nama, pun inisial-inisial yang menurutnya dilindungi tersebut. Tetapi, kata dia, hilangnya Pasal 6 ayat (1) a dalam dakwaan Andi Irfan Jaya, juga sebagai bentuk inkonsistensi penyidikan di Jaksa Agung Muda (JAM Pidsus).
Sebab kata dia, sejak awal penyelidikan, sampai pada penyidikan, penyidik di JAM Pidsus, terang menebalkan sangkaan suap-gratifikasi haim untuk Andi Irfan tersebut. “Kalau penyelidikan itu mencari dugaan korupsi. Maka penyidikan, untuk membuat terang jenis korupsinya dengan adanya bukti-bukti. Dan sejak awal, penyidik mengumumkan, adanya dugaan Pasal 6. Dan itu harusnya, tetap ada dalam dakwaan,” terang Boyamin.
Menurut Boyamin, dengan tetap menebalkan sangkaan Pasal 6 ayat (1) a dalam dakwaan, membuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) punya dasar penjeratan hukuman untuk penuntutan, jika suap-gratifikasi hakim tersebut, terungkap dalam persidangan. Akan tetapi sebaliknya, dikatakan Boyamin, jika sangkaan suap-gratifikasi hakim tersebut hilang, tetapi terungkap saat persidangan, JPU, tak punya dasar dakwaan untuk penuntutan.
“Itu yang sangat kita sayangkan,” terang Boyamin.
Tersangka Andi Irfan Jaya, akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Rabu (4/11). Menengok laman SIPP PN Tipikor, politikus Nasdem tersebut, akan didakwa dengan dua sangkaan primer dan subsidar.
Primer pertama, JPU akan mendakwa Andi Irfan dengan sangkaan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) a UU Tipikor 31/1999-20/2001 juncto Pasal 56 ke-1 KUH Pidana. Primer kedua, JPU menebalkan sangkaan Pasal 11 UU Tipikor.
Adapun dalam dakwaan subsider pertama, JPU menggunakan Pasal 15 jo Pasal 5 ayat (1) a UU Tipikor. Subsider kedua, Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.
Rentetan dakwaan untuk Andi Irfan ini, berbeda saat JAM Pidsus menetapkannya sebagai tersangka, 2 September lalu. Saat itu, penyidik tak cuma menetapkan Andi Irfan sebagai tersangka pemberian suap, dan gratifikasi, serta permufakatan jahat dalam Pasal 5 dan Pasal 15 UU Tipikor. Tetapi, penyidik juga menggunakan sangkaan dalam Pasal 6 ayat (1) a UU Tipikor.
Pasal tersebut, terkait ancaman pidana maksimal 15 tahun, bagi seseorang yang memberi, atau menjanjikan sesuatu kepada hakim. Pasal tersebut memang khusus terkait suap, gratififikasi terhadap ‘Wakil Tuhan’. Pasal 6 terhadap Andi Irfan saat penetapan tersangka melihat objek penyidikan terkait dengan upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra.
Dalam penyidikan terungkap, Andi Irfan bersama jaksa Pinangki Sirna Malasari menawarkan skema pembebasan Djoko Tjandra menggunakan jalur penerbitan fatwa MA. Skema dengan judul Action Plan JC Case 2019 tersebut, dibanderol senilai Rp 10 juta dolar AS (Rp 150 miliar). Uang ratusan miliar tersebut, rencananya akan digelontorkan untuk pejabat tinggi di Kejakgung, pun MA.
Atas rencana tersebut, Djoko Tjandra memberikan janji uang 1 juta dolar (Rp 15 miliar) untuk Pinangki dan Andi Irfan. Sebagai tanda jadi, Djoko Tjandra memberikan panjar 500 ribu dolar (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki. Uang panjar tersebut, diberikan lewat Andi Irfan. Jaksa Pinangki sudah diseret ke PN Tipikor, 23 September lalu. Dalam dakwaan Pinangki, dijelaskan penanggungjawab pelobian hakim di MA adalah Andi Irfan.
Sedangkan penanggungjawab atas upaya surat-menyurat dari Kejakgung untuk meminta fatwa ke MA, adalah Pinangki. Terkait surat menyurat itu, ada inisial BR, dan HA yang diakui sebagai Burhanuddin, dan Hatta Ali. Selain itu, ada dua inisial, yakni DK, dan IF yang sampai hari ini tak diketahui nama sebenarnya, namun dalam dakwaan Pinangki, dua inisial tersebut, juga penanggungjawab di MA.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono menerangkan, hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan Andi Irfan, karena penyidik tak menemukan bukti adanya suap kepada hakim di MA.
“Jadi dia (Andi Irfan), hanya swasta yang bersama-sama Pinangki (terdakwa), sebagai penegak hukum melakukan tindak pidana permufakatan jahat,” terang Hari, Senin (26/10).
Direktur Penyidikan di JAM Pidsus Febrie Adriansyah, juga pernah menegaskan tentang hal yang sama. “Tidak ada bukti penyuapan (kepada hakim) itu,” terang Febrie pekan lalu.
Karena itu, Febrie, sebagai bos penyidikan, tak dapat mempertahankan penggunaan Pasal 6 ayat (1) a untuk Andi Irfan tersebut, saat berkas perkara limpah ke penuntutan.
JAM Pidsus Ali Mukartono, juga menjelaskan, penerapan sangkaan suap-gratifikasi hakim terhadap Andi Irfan tersebut, tak relevan. Karena permufakatan jahat menerbitakan fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra tersebut, tak terealisasi.
“Kalau tidak ada buktinya buat apa dipakai (Pasal 6 dalam dakwan). Kan mubazir,” terang Ali menambahkan.