REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Febrianto Adi Saputro, Rr Laeny Sulistywati, Wahyu Suryana
Kepastian mengenai libur akhir tahun mulai jelas. Presiden Joko Widodo sudah meminta agar libur akhir tahun diperpendek. Permintaan tersebut disampaikan dalam rapat terbatas kabinet, Senin (23/11).
Pemerintah memang dihadapkan dilema mengenai penyelenggaraan libur akhir tahun atau cuti bersama yang dikhawatirkan kembali menaikkan tren kasus Covid-19. Kendati begitu, belum dipastikan berapa jatah hari cuti bersama yang dikurangi.
"Kemudian yang berkaitan dengan masalah libur, cuti bersama akhir tahun termasuk libur pengganti cuti bersama hari raya Idul Fitri, Presiden memberikan arahan supaya ada pengurangan," ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam keterangan pers usai rapat terbatas, Senin (23/11).
Presien Jokowi, ujar Muhadjir, juga memerintahkan segera menggelar rapat koordinasi antar kementerian/lembaga untuk membahas pengurangan libur akhir tahun dan pengganti libur cuti bersama Idul Fitri.
Wacana peniadaan cuti bersama akhir tahun sempat disampaikan Satgas Penanganan Covid-19 apabila masyarakat tetap abai menjalankan protokol kesehatan dan kasus baru tak kunjung melandai. Pascalibur panjang akhir Oktober lalu, grafik penambahan kasus harian kembali menanjak pada November ini setelah sempat landai sejak pertengahan Oktober. Adanya libur panjang akhir tahun ditakutkan akan memperburuk risiko penularan Covid-19 yang tak kunjung usai.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan libur Hari Raya Natal pada 24-25 Desember. Kemudian ada cuti bersama akhir tahun 28-31 Desember sebagai pengganti libur Lebaran yang lalu. Hari libur masih ditambah tanggal merah pada 1 Januari 2021 yang jatuh pada hari Jumat.
Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menyambut baik kemungkinan tidak diadakannya libur panjang akhir tahun. Menurutnya libur panjang terbukti membuat angka penularan Covid-19 bertambah. "Karena sudah terbukti pasca liburan panjang yang lalu angka positif naik lagi," kata Mufida kepada Republika.
Pemerintah saat ini dinilai belum siap mengantisipasi potensi penularan saat liburan panjang di pusat-pusat keramaian dan wisata. Belum lagi rencana pemerintah yang akan membuka kembali kegiatan tatap muka pada Januari 2021 mendatang.
"Harus ketat dan siap supporting system, fasilitas, pengawasan dan sistem yankes semuanya wajib ditungkatkan. Jangan korbankan anak-anak bangsa, generasi bangsa masa depan," ujarnya.
Politikus PKS itu pun setuju jika pemerintah meniadakan libur panjang tahun 2020 ini. "Jika untuk menekan potensi angka penularan saya setuju (ditiadakan)," ucapnya.
Beberapa waktu lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengusulkan sebaiknya libur dan cuti bersama berikutnya termasuk akhir tahun ditiadakan sementara. "Pemerintah bisa melihat positif dan negatifnya, kalau IDI sebagai profesi mengusulkan atau menyarankan mengkaji ulang kebijakan cuti bersama," ujar Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.
IDI menilai kondisi saat ini masih berisiko, orang-orang ketika pergi berlibur pasti terdorong untuk berkerumun dan menyebabkan penularan virus. Sehingga, IDI menyarankan pemerintah tidak memberlakukan libur dan cuti bersama berikutnya.
Daeng meminta pemerintah benar-benar menggunakan data riil dan dipelajari berdasarkan keilmuan yang kemudian menjadi dasar mengambil keputusan. Kendati demikian, IDI menyarankan pemerintah untuk hati-hati karena momen satu ke lainnya bisa berbeda perilakunya.
"Jadi kalau data menunjukkan tidak terlalu signifikan, IDI menyarankan sebaiknya tidak ada cuti bersama," katanya.
Epidemiolog UGM, dr Bayu Satria Wiratama, beberapa waktu lalu telah menganjurkan pemerintah perlu memperpendek hari libur saat libur panjang akhir 2020. Langkah lain dapat dilakukan dengan memperketat pengawasan penerapan protokol kesehatan di tempat-tempat wisata.
"Opsinya antara memperpendek (libur) atau memperketat pengawasan. Namun, untuk memperketat pengawasan butuh usaha yang lebih besar," kata Bayu.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM ini menilai meniadakan hari libur kurang pula efektif karena hanya membuat masyarakat tetap di rumah saat liburan. Jadi, tidak menjamin masyarakat tidak berwisata dan tetap beraktivitas di rumah.
Ia menekankan, kondisi sekarang yang perlu digalakkan adalah edukasi wisata sehat yang sesuai protokol kesehatan dan disiplin menerapkannya. Edukasi protokol kesehatan harus dilakukan simultan antara pelaku wisata dan penyelenggara wisata.
Sedangkan, edukasi dilakukan berkelanjutan agar bisa meningkatkan kesadaran atas pentingnya penerapan protokol kesehatan saat pandemi Covid-19. Bayu mengingatkan, tempat wisata yang berada dalam ruangan (indoor) miliki risiko tinggi penularan.
Tempat wisata itu seperti kolam renang, hotel, dan destinasi-destinasi wisata sejenisnya. Karenanya, ia mengimbau masyarakat untuk tetap patuh dan disiplin menjalankan protokol kesehatan seperti memakai masker dengan baik dan benar. "Hindari tempat wisata yang padat, sehingga tidak bisa jaga jarak," ujar Bayu.
Bayu menambahkan, bila hendak makan dianjurkan untuk mencari tempat makan yang terbuka (outdoor). Jika terpaksa harus makan di tempat yang tertutup, usahakan tempat-tempat yang menerapkan jaga jarak dan memiliki ventilasi yang baik.
"Kuncinya displin memakai masker dan waspada terhadap ventilasi, durasi, jarak. Jangan lupa juga untuk melihat kondisi tubuh, jika tidak fit sebaiknya di rumah saja," kata Bayu.