REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Mahkamah Konstitusi di Thailand pada Rabu (2/12) memvonis Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha tidak bersalah atas gugatan konflik kepentingan yang dilayangkan oleh sejumlah politisi dari kubu oposisi.
Prayuth dituduh terlibat konflik kepentingan karena ia tetap menempati rumah dinasnya meskipun ia telah pensiun dari Angkatan Darat pada 2014 atau beberapa bulan setelah ia mengkudeta pemerintah. Prayuth mengatakan ia tetap tinggal di sana karena alasan keamanan.
Pengadilan mengatakan keputusan Prayuth, eks-kepala staf Angkatan Darat, tetap tinggal di rumah dinas tidak melanggar aturan di kesatuannya. Keamanan dan keselamatan perdana menteri beserta keluarganya merupakan prioritas pemerintah, kata vonis pengadilan.
Vonis “tidak bersalah” yang diterima Prayuth menunjukkan ia tetap berkuasa di Thailand.
“Tergugat tidak terbukti terlibat dalam perbuatan yang memuat konflik kepentingan. Ia tidak berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri, secara langsung atau tidak langsung, dia juga tidak melanggar kode etik,” kata seorang hakim saat membacakan putusan.
“Jabatannya (sebagai perdana menteri) pun tidak berakhir sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar hakim.
Putusan pengadilan itu dibacakan saat situasi di Thailand tengah memanas karena aksi protes massa yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Massa aksi menuntut Prayuth mundur dari jabatannya. Namun, Prayuth menolak mundur.
Prayuth sempat mengatakan ia akan menghormati keputusan hakim meskipun isi vonis tidak sesuai dengan harapannya. Sejauh ini, Prayuth belum dapat dihubungi untuk dimintai tanggapan terkait putusan pengadilan.
“Takdir yang akan menjawab. Semua telah ditakdirkan. Saya tidak khawatir. Saya percaya dengan kebaikan yang telah saya perbuat,” kata Prayuth di hadapan pendukungnya saat ia mengunjungi wilayah di luar Kota Bangkok.
Kubu oposisi dan massa aksi menuding Prayuth mencurangi pemilihan umum tahun lalu sehingga ia tetap berkuasa. Namun, Prayuth mengatakan pemilu berjalan adil.
Aksi massa yang menuntut Prayuth mundur juga mendesak adanya perubahan pada konstitusi di Thailand, yang salah satunya meminta kekuasaan Maha Raja Vajiralongkorn dibatasi. Isu mengenai kerajaan merupakan topik yang dulu tabu dibahas di depan umum.
Pengunjuk rasa hari ini (2/12) mulai berkumpul di jalanan utama Bangkok, kawasan paling sibuk di ibu kota, untuk memprotes putusan pengadilan.
“Perjuangan ini belum berakhir. Ketika perbuatannya (Prayuth) tidak ada yang dianggap salah, maka negara ini menuju ke titik kritisnya,” kata kelompok pendemo, Free Youth, melalui pernyataan tertulisnya.