REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei Transparency International Indonesia (TII) menyatakan DPR RI dipersepsikan sebagai lembaga terkorup. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai hasil survei TII tersebut tidak mengejutkan.
"Walau hampir setahun terakhir gelombang penangkapan oleh penegak hukum terhadap anggota DPR nyaris tak terdengar, namun publik rupanya masih cenderung menganggap DPR sebagai lembaga terkorup," kata Peneliti Formappi Lucius Karus saat dikonfirmasi, Sabtu (5/12).
Lucius mengatakan, persepsi soal korupsi tak hanya didasarkan pada ada atau tidaknya penangkapan atau OTT terhadap anggota legislatif. Namun, kata dia, ada faktor lain yang membuat persepsi itu tetap melekat pada benak publik.
Ia menyebut, faktor utama yang membuat DPR dianggap sebagai lembaga terkorup lantaran DPR dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lemahnya penegakan hukum terkait korupsi melalui revisi UU KPK. Revisi UU KPK masih dianggap sebagai cara pelaku atau pembela koruptor mengamankan diri dan tindakan korupsi mereka.
"Jadi kalau belakangan tak terdengar adanya anggota DPR yang tertangkap karena korupsi, itu bisa jadi bukan karena praktik korupsi tak lagi dilakukan oleh DPR, tetapi karena lembaga yang melakukan penindakan terhadap korupsi sudah dibuat tak berdaya oleh DPR melalui revisi UU KPK," kata dia.
Dengan demikian, menurut dia, tak mengherankan jika DPR dianggap sebagai lembaga terkorup karena biang pelemahan penegakan korupsi muncul dari DPR. Alasan lain, yang membuat DPR tetap melekat sebagai lembaga yang dianggap korup menurut Lucius karena tak ada perubahan signifikan dalam tata kelola DPR menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Proses pembuatan kebijakan seperti pembahasan anggaran bahkan pembuatan UU cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada publik. Padahal, proses pembahasan anggaran yang tertutup selalu terkait erat dengan potensi penyimpangan anggaran yang melibatkan DPR.
"Karenanya semakin DPR tertutup dalam melakukan pembicaraan kebijakan-kebijakan terkait anggaran, semakin mereka dianggap sedang melakukan kongkalingkong untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok," ujar dia.
Dengan tak berubahnya tata kelola kelembagaan DPR, Menurut Lucius, lembaga itu tak akan bisa mengubah persepsi publik yang menilai mereka sebagai lembaga terkorup. Program-program open parlemen, parlemen modern selalu menggaungkan keinginan untuk menjadikan DPR sebagai lembaga terbuka.
"Tetapi faktanya itu semua hanya proyek saja. Tak ada budaya keterbukaan yang serius yang muncul di DPR," kata Lucius menambahkan.