REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Febryan A, Febrianto Adi Saputro
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Sobri Lubis meminta agar polisi juga memproses sejumlah kasus kerumunan massa, tidak hanya kasus Petamburan. Hal itu disampaikannya usai diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya terkait kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat.
"Tinggal saat sekarang ini kalau saya sudah diproses secara hukum atas pasal kerumunan maka kami minta keadilan di sini yang lain juga yang berkerumun termasuk wartawan yang berkerumun sekarang harus diproses juga biar adil ya," tegas Sobri Di Mapolda Metro Jaya, Jakarya Selatan, Selasa (15/12).
Sobri sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran protokol kesehatan dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Kemudian Sobri juga meminta Polisi dalam menegakkan hukum tidak pandang bulu, dan harus berlaku adil.
"Termasuk juga tanpa pandang bulu hukum harus berlaku untuk semua bukan hanya untuk kalangan tertentu golongan tertun apalagi Maulid Nabi mengarah pada ulama dan lain-lain ya hanya sebatas itu, itu adalah ketidakadilan," terang Sobri.
Dalam pemeriksaan, Sobri mengaku dicecar 63 pertayaan oleh penyidik. Menurutnya, semua pertanyaan yang diajukan penyidik dijawabnya dan berjalan dengan lancar.
Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan ini, penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan enam tersangka. Keenam tersangka tersebut adalah Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) Haris Ubaidilah (HU), Ali Alwi Alatas (AA), Maman Suryadi (MS) Ahmad Sabri Lubis (AS), dan Idrus (I).
Kemudian Sobri sendiri disangkakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun, bunyi pasalnya adalah, "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta".
Pada hari ini, ratusan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi di depan Polres Tasikmalaya. Aksi itu menuntut aparat kepolisian membebaskan HRS yang kini ditahan di Polda Metro Jaya akibat diduga menimbulkan kerumunan massa saat pandemi Covid-19.
Ketua Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Tasikmalaya, KH Sofyan Anshori mengatakan, penetapan tersangka dan penahanan kepada HRS merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab, bukan hanya HRS yang menimbulkan kerumunan saat pandemi Covid-19 masih terjadi.
"Banyak kan (yang lain-lain membuat kerumunan). Kenapa tidak diproses? Ini jelas sebuah ketidakadilan," kata dia, Senin.
Sebelumnya, Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin juga membandingkan keramaian FPI dan pimpinannya IB HRS di beberapa lokasi dan kerumunan Gibran di Surakarta. Menurutnya, keramaian yang dialami oleh HRS serta simpatisannya tidak diperkirakan dan memang tidak ada agenda khusus mengundang ribuan orang.
"Sedangkan, acara Gibran itu teragendakan, tersistem, dan masif dalam rangkaian pilkada," ujar Novel kepada Republika, Jumat (20/11).
Dia menambahkan, agenda di Surakarta itu secara sengaja dan sadar dilakukan yang menghasilkan kerumunan. Jauh berbeda, kata dia, dengan peristiwa penjemputan HRS dan keramaian di Maulid Nabi serta pernikahan putri HRS.
"(Di kejadian HRS) itu sama sekali tidak ada kepanitiaan dan spontan," katanya.
Novel juga menyebut penetapan tersangka dan penahanan terhadap HRS tersebut sebagai perbuatan yang dzalim.
"Kalau tidak dzalim ya bukannya rezim ini," kata Novel kepada Republika, Ahad (13/12).
Ia memandang hukum di rezim ini ditegakkan semaunya oleh penguasa. Menurutnya siapa saja yang tidak sejalan, maka menjadi sasaran empuk rezim.
"Semua sudah paham dan bicara bagaimana yang namanya hukum di rezim ini adalah hukum semaunya penguasa sajalah yang tidak sejalan mereka kerjai habis, apalagi yang membela agama dan pancasila menjadi sasaran empuk untuk dimangsa demi untuk para cukongnya," ujarnya.
Protes FPI dan PA 212 soal standar ganda polisi dalam memproses kerumunan massa pada masa pandemi Covid-19 sebelumnya telah direpons oleh Mabes Polri. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono menyatakan, dua kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta dan Solo merupakan kasus yang berbeda.
"Jangan samakan kasusnya. (di Solo) itu urusan Pilkada, di sana ada pengawasnya (Bawaslu)," tegas Awi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Oleh karena itu, Awi meminta agar semuanya bisa membedakan dua peristiwa kerumunan tersebut. Ia menegaskan, Pilkada secara konstitusional sudah diatur dalam perundangan-undangan.
Termasuk, turunan-turunannya sampai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) telah disusun sedemikian rupa. Bahkan, maklumat terakhir Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis pun terkait dengan Pilkada.
"Peraturan perundang-undangan sudah mengatur semuanya, penyelenggara pun sudah diatur sedemikian rupa dan ini amanat undang-undang. Jangan disamakan dengan alasan-alasan yang tidak jelas," tutur Awi.
Kendati demikian, lanjut Awi, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, Polri bersama TNI, pemerintah daerah serta stakeholder lainnya melakukan patroli bersama. Juga melakukan pengawasan, menertibkan.
"Tadi bilang kalau ada kerumunan tentunya dibubarkan, itu namanya menertibkan, termasuk sekarang kita melakukan operasi yustisi itu salah satu amanat Inpres 06 tahun 2020 dan terakhir penegakan hukum," terang Awi.
Anggota Komisi III Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menilai profesionalitas Polri saat ini tengah diuji dengan adanya kasus HRS.
"Hemat saya, dalam kasus HRS (Habib Rizieq Shihab) dan kawan-kawan kredibilitas dan profesionalitas kepolisian sedang diuji dan dipertaruhkan," kata Jazilul kepada Republika, Ahad (13/12).
Ia menuturkan, kepolisian sejauh mungkin menghindari tindakan diskriminatif terhadap HRS. Dirinya mengingatkan adanya asas persamaan di depan hukum. Ia juga berpesan agar kepolisian tidak tebang pilih dalam kasus tersebut.
"Kita ikuti dan hormati proses hukum yang berlangsung. Kebenaran dan keadilan akan terkuak," ujar pria yang juga menjabat wakil ketua MPR tersebut.